Rabu, 31 Maret 2021

Bab 2 Di Rumah Sakit

 

Bab 2 Di Rumah Sakit

 

Bau obat dan antiseptik ciri khas bau rumah sakit tercium sangat menyengat. Hera perlahan membuka matanya. Menggerakkan tangannya ke atas yang terasa kebas, ah bibirnya meringis, matanya melirik ke kanan, tangan kirinya meraba pundaknya yang sakit ternyata sudah diperban. Botol infus menggantung dan jarumnya menempel di tangan kanannya. Langit-langit dengan lampu temaram, gordeng biru langit yang menutupi sekitarnya. Hera berusaha mengumpulkan kesadarannya sambil mengingat kembali apa yang telah terjadi.

            Hera baru sadar, mengingat kejadian yang telah dialaminya. Nenek, dimana nenek? Hera memanggil nenek, tapi suaranya tak keluar, kerongkongannya kering, terasa perih. Hera mencoba menelan salivanya yang kering menetralkan tenggorokan. Berusaha bangun dan turun dari tempat tidur. Mengambil botol air mineral yang ada di meja, membuka tutupnya, membaca bismilah lalu perlahan meminumnya. Setelah merasa cukup lalu menutup kembali botol dan menyimpannya lagi di atas meja.

Menutup kontrol infusan, mengambil botol infusan dengan tangan kiri lalu berjalan menyibakkan gordeng penutup dan melihat keadaan. Tempat tidur disebelahnya kosong, ada sopa dan meja kecil, ada televisi kecil menempel di dinding. Hera berjalan mendekati pintu kamar mandi, membersihkan diri dan berwudhu. Setelah itu kembali ke tempat tidur. Entah pukul berapa sekarang, tapi ia belum salat Isya. Hera pun salat Isya dan salat sunah malam dalam keadaan duduk dan selang infus menggantung.

Baru saja mengusap muka setelah mengaminkan doa-doanya, tiba-tiba pintu dibuka dari luar. Seorang wanita dengan mengenakan seragam suster diiringi oleh laki-laki memakai jas putih membawa body bag masuk sambil mengucapkan salam hampir berbarengan.

“Assalamualaikum”

“Waalaikum salam” jawab Hera sambil tersenyum menyambut kedatangan tamunya.

“Dokter kok ada di sini?” tanya Hera keheranan. Ya Hera mengenal dokter Zaisyal sebagai sahabat ayahnya dulu waktu sekolah. Beberapa kali pernah main ke rumahnya waktu di Jakarta. Setelah Hera pindah ke Sukabumi tak pernah bertemu lagi.

“Eh ternyata kamu masih ingat sama Om. Kemarin Om sempat ragu apa betul ini kamu Hera anak sahabat Om. Tapi ternyata benar. Nih, kamu makan dulu, pasti lapar dari kemarin kamu belum makan kan? Nanti setelah selesai kamu makan baru kita cerita lagi.” suruh dokter Zaisyal sambil menyerahkan body bag yang tadi dibawanya.

“Terima Kasih Dok!” ucap Hera sambil menerima body bag dari dokter Zaisyal. Membukanya  lalu memakannya perlahan tak lupa diawali dengan membaca doa. Setelah selesai makan meremas kertas bungkus nasi dan mau membuangnya. Suster menghampiri dan mengambil botol minum yang ada di meja, menyodorkannya pada Hera sambil tersenyum ramah.

“Ini minumnya, biar sampahnya saya yang buang, anda masih repot dengan infus ditangan.” katanya sambil mengambil sampah ditangan Hera dan berjalan menuju tempat sampah yang ada di dekat kamar mandi.

Dokter Zaisyal yang tadinya duduk di sopa, berjalan mendekati Hera. Menggeser kursi lalu duduk di dekat tempat tidur menghadap kearah Hera.

“Bagaimana, sudah lebih baik?” tanyanya sambil menatap manik mata Hera dengan seksama.

“Alhamdulillah Dok, sudah agak segar, tidak terlalu lemas kaya tadi.”

“Alhamdulilah, kalau begitu bisa kita mulai bercerita?” Dokter Zaisyal bertanya lagi menyakinkan.

“In Sya Allah bisa, kita mulai dari mana?”

“Kamu ceritakan saja kejadian dari siang sampai kamu bisa pingsan kemarin.”

Hera menceritakan apa yang dialaminya kemarin, dimulai saat dirinya pulang rapat IGTK hingga dirinya pingsan dan tak tahu lagi apa yang terjadi.

“Em jadi nenek yang kemarin dibawa bersama mu, itu nenek mu.” Dokter Zaisyal manggut-manggut.

“Bagaimana keadaan Nenek? Dimana dia sekarang? Nenek baik-baik saja kan? sakitnya tidak serius kan? Aku ingin mengunjunginya” Hera bertanya bertubi-tubi tanpa jeda, ingin tahu keberadaan neneknya. Terpancar dari sorot matanya rasa khawatir dan ingin tahu dengan keadaan neneknya. Tanpa sadar dia mengguncang tangan dokter Zaisyal yang ada didepannya. Air bening menggenang dipelupuk matanya yang sipit, tak bertahan lama mengalir menganak sungai membasahi pipi mulusnya.

“Sabar, kau harus kuat, kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Semua yang terjadi di muka bumi ini kehendak Allah. Kita hanya menjalaninya, apa yang telah terjadi kita harus terima, baik, buruk, susah, senang, sedih, gembira, harus kita rasa. Hanya Allah yang dapat membulak-balikan sara dalam hati kita.” Dokter Zaisyal memeluk erat Hera. Memberi kekuatan dan kenyamanan pada anak sahabatnya. Sambil mengusap-usap punggung Hera dengan tangannya, seperti seorang Bapak pada anaknya.

“Nenek....? Hera tak dapat meneruskan kata-katanya. Menatap lekat pada mata dokter Zaisyal mencari ketegasan pada dugaannya.

“Ya, Allah sangat menyayangi nenek mu. Allah menyuruhnya pulang. Kau harus tabah, kuat menjalani  ini semua. Nenek mu sudah pergi sebelum sampai ke Rumah Sakit. Sekarang hanya berdoa yang dapat kita lakukan untuknya.” Dokter Zaisyal kembali memeluk Hera, membiarkan kemeja putihnya basah oleh air mata Hera yang mengalir deras didadanya. Isakan yang tertahan mengguncang pundaknya Hera. Setelah isakan itu sedikit mereda. Dokter Zaisyal melepas pelukannya dan berkata.

“Kau istirahatlah, badanmu masih lemah, hatimu juga pasti lelah. Kau harus istirahat, kau harus punya energi agar besok dapat mengantarkan jasad nenekmu ke peristirahatan terakhirnya. Kau jangan banyak berpikir biar semuanya Om yang atur, Oke.” Dokter Zaisyal menenangkan dan meyakinkan Hera.

“Terima Kasih Dok, maaf telah banyak merepotkan. Baru juga bertemu lagi, tapi malah banyak direpotkan Dokter.” Hera mencoba tersenyum.

“Hai jangan bilang merepotkan, Kau itu anak sahabatku, papa mu juga pasti melakukan hal sama bila anak om mengalami kesulitan. Om tahu betul bagaimana papa mu. Jadi jangan sungkan oke! Kau mau dimakamkan dimana nenekmu ? biar nanti om telpon Pak RT yang kemarin mengantarmu” Dokter Zaisyal Hera.

“Di dekat makam papa dan mama saja Dok di kebun dekat rumah. Pak RT tahu kok tempatnya.” terang Hera pada dokter Zaisyal.

“Baiklah biar om yang urus semuanya. Suster Andini akan menemani mu malam ini. Kalau sudah selesai besok Om jemput ke sini. Sekarang istirahatlah supaya besok kau lebih segar.” Dokter Zaisyal mengusap kerudung puncak kepala Hera dan berlalu meninggalkan kamar setelah mengucapkan salam.

 

#KMP4diarpus

#KMP2021

#abadidalamfiksi

#NyiHeni


Bab I Prolog

 


Bab 1 Prolog

 

Herawati yang akrab dipanggil teman-temannya dengan sebutan Hera. Gadis yatim piatu ditinggal kedua orang tuanya karena kecelakaan pesawat. Sewaktu dirinya masih kuliah semester 5 jurusan akuntansi. Setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya, dia hidup bersama kakek dan neneknya. Namun malang dua tahun kemudian kakeknya pun berpulang. Kini dirinya hidup bersama neneknya yang mulai renta dan sakit-sakitan.

Herawati Arini gadis desa yang sederhana. Wajah cantik alami tanpa sapuan make up berlebih. Kulit putih bawaan dari lahir tanpa bantuan pemutih buatan. Tinggi badan rata-rata orang Indonesia dengan berat badan ideal. Dibalut rok biru dan batik IGTK dengan kerudung panjang menjuntai.

Matahari panas serasa berada di ubun-ubun, membakar kulit seakan mencubit. Dengan langkah lunglai Hera turun dari angkutan umum yang membawanya pulang dari Parungkuda, setelah rapat Guru IGTK se-Kecamatan. Dengan tergesa Hera melangkah ingin segera sampai di rumah,  sudah terbayang dipelupuk mata air putih jernih mengalir di kerongkongan yang kehausan.

Langkahnya terhenti mendadak,  dikagetkan dengan suara dentuman yang keras, diiringi suara pepohonan yang patah. Langkahnya kembali cepat, berlari tunggang-langgang secepat yang dia dapat, setelah menyadari arah suara yang mengagetkannya berasal dari dekat rumahnya.

“Nenek....Nenek.....Nenek......” teriakannya semakin keras, tangisnya pun pecah, air mata mengalir deras tanpa perintah. Setelah melihat rumah sederhananya porak poranda dihantam  helikopter yang jatuh menimpa.

Hera menyingkirkan puing-puing yang menindih tubuh neneknya. Tanpa berpikir panjang tubuh nenek yang lemah diletakkan dipunggungnya dan berjalan perlahan menuju tempat sementara yang dikira aman. Sesampainya dibawah pohon duku tubuh nenek dibaringkan bersandar ke pohonnya.

Hera kembali ke tempat kejadian. Tanpa ragu mendekati bangkai Helikopter yang sudah pecah. Dilihatnya ada dua orang laki-laki di bangku depan. Hera mendekati orang yang berada di jok penumpang terdengar rintihan  kesakitan dan tak berdaya.

“Subhanallah, Astagfirullah, Laillahaillallah” suaranya terdengar lirih nyaris tak terdengar lalu pingsan tak terdengar lagi ada rintihan. Kakinya terjepit,  kepala dan pelipisnya mengucurkan darah segar sepertinya terbentur dan terkena goresan pecahan kaca.

Hera mencoba membuka pintu helikopter yang sudah penyok, memukulnya dengan batu yang dia temukan. Setelah berhasil pintu dibuka, diamati kaki yang tadi terjepit sepertinya patah banyak darah dan tak dapat digerakkan. Hera bingung bagaimana cara membawanya, tubuh laki-laki itu tinggi dan pasti berat. Hera melihat ke sekeliling, terlihat ada kasur tempat tidur neneknya. Tak berpikir lama kasur diseret mendekati korban, dengan perlahan kepala korban diletakkan dikasur, sedikit demi sedikit badan korban digeser kekasur dan terakhir baru kaki yang dipindahkan ke kasur.

Hera mengambil kain panjang yang biasa dipakai selimut neneknya. Disobek memanjang dibagi tiga,  lalu kain itu dipakai mengikat kasur dibagian kaki, satu lagi diikat dibagian badan,  korban diikat seperti mumi dibungkus oleh kasur. Kemudian satu lagi diikatkan dikasur dekat kepala dipakai untuk pegangan agar dapat diseret. Tubuh gadis kecil yang lelah setelah seharian beraktipitas, menyeret tubuh korban yang tingi dan tak berdaya, sungguh sangat kepayahan. Baru beberapa meter tangannya sudah tidak mampu lagi menggerakkan korban yang diseretnya. Tak habis akal tali pegangan Hera ikatkan dibahu kanannya, dengan perlahan kembali bergerak menyeret korbannya ke tempat aman disamping neneknya.

Hera meraba bahunya yang terasa basah dan perih, setelah melihat telapak tangannya merah ternyata darah. Pantas saja sakit gumamnya pelan nyaris tak terdengar sambil mendesis menahan sakit. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya Hera kembali melangkah hendak kembali mendekati helikopter karena masih ada satu korban lagi yang perlu diselamatkan.

Duar ...blum.....

Baru saja beberapa meter, langkahnya kembali terhenti, kakinya lemas seperti jeli, badannya ambruk, matanya melotot menatap nanar pada api yang membumbung tinggi menerbangkan puing-puing helikopter yang meledak. Langkahnya replek mundur kembali, jantungnya berdetak cepat, pandangannya perlahan menggelap dan Hera pun tak sadarkan diri.

           

#KMP4diarpus

#KMP2021

#abadidalamfiksi

#NyiHeni


Minggu, 28 Maret 2021

Malam Pertama

 



Malam Pertama 

Setelah sujud Isya dan memanjatkan doaku berakhir. Aku dekati lagi benda pipih warna hitam kesayanganku yang tadi sempat ditinggalkan. Sambil menunggu waktu pelatihan dibuka pemberi materi malam ini, aku membuka youtube nonton drama “My Little Happiness”  cerita tentang seorang dokter bedah dengan mahasiswi hukum yang sedang magang di Rumah Sakit yang sama. Sesekali kupantengi grup whatsApp “KELAS MENULIS DIARPUS” memulai percakapan.

Sepuluh menit sebelum mulai, Pemateri memberi salam dan membagikan link Gol A Gong untuk jadi cemilan sebelum menu utama dibagikan. Drama “My Little Happiness” aku tutup sementara dan beralih ke Gol A Gong.

Wow aku terpana walau sebagai pemantik tapi membuat terpesona. Ternyata hal yang biasa kulihat sepintas, kalau dilihat oleh seorang penulis handal menjadi akan menjadi luar biasa. Membuatku tersadar dari mimpi sukses dengan piala besar dan hadiah, kembali pada kenyataan di atas tempat tidur kontrakan yang sederhana.

Tepat waktu menunjukan pukul 20.00 WIB di wilayahku. Pemateri kembali menyapa mengalihkan perhatianku dari Gol A Gong. Pemateri mengajak jalan dipertemuan pertama padahal jarak yang ditempuh jauh. Sungguh luar biasa he he he.

Dengan gaya santai kaya di pantai tapi serius memberi plus plus plus. Diawali dengan bertanya apa motivasi ikut kelas menulis perpustakaan  pada para peserta pelatihan. Beragam jawaban diberikan, berbagai keinginan dikemukakan, dari sekian  pendapat yang dilontarkan ada satu kesamaan yang dapat disimpulakan yakni kami ingin banyak berkarya dan karya kami dapat dinikmati banyak orang dan bermanfaat.

Seseorang yang mau memulai menulis biasanya dihantui berbagai ketakutan. Diantaranya takut salah atau keliru, takut jelek dan dicaci orang, takut tidak istimewa, takut dianggap tidak penting, takut sudah ditulis orang lain, dan berbagai ketakutan lainnya. Aku pun diawal-awal ketika mau memulai menulis mengalami hal yang sama. Aku rasa wajarlah sangat manusiawi sekali.

Karena ketakutan-ketakutan tadi mengakibatkan malas memulai menulis, malas mencatat peristiwa, malas membuat diari, malas menulis jurnal, malas membaca, malas mengolah ide dan berakhir semua tulisan yang digarap jadi mangkrak. Bahkan yang lebih parah lagi jadi menunda menulis, tidak jadi menulis dan akhirnya tidak menulis-menulis deh.

Nah langkah awal agar tulisan yang dibuat tidak berakhir mangkrak. Segala ketakutan yang menghantui harus dihempaskan dulu dari diri sendiri. Aku diberi bocoran oleh penulis kahot baik hati.  Kelahiran Bandung tapi tinggal di Sukabumi. Hasil karyanya sudah tersebar ke seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Baik hatinya penulis ini walau karyanya sudah melanglang buana, tapi masih  mau mengayomi kami pembelajar menulis tanpa nama, yang belum jadi siapa-siapa dengan sabar dan telaten.

Aku masih ingat pelajaran pertama yang diberikan,  yaitu tulis, kirim, lupakan. tiga kata keramat inilah yang memacu diriku berani untuk membuat tulisan dan menuntaskannya tanpa ketakutan. Biarkanlah tulisannya menemukan pembacanya sendiri. Entah sehari, seminggu, sebulan, setahun atau bahkan kau sendiri yang menulisnya sudah lupa, baru tulisanmu menemukan pembacanya.

Setelah menemukan tiga kata keramat inilah keberanianku menulis berdatangan. Mudah-mudahan pengalaman kecil ku ini bisa menular pada pemula-pemula yang cinta aksara dan berani menghasilkan karya. Karya-karya yang mengobarkan semangat jiwa muda, karya-karya yang menyebarkan manfaat sampai akhirat, karya yang banyak menyelamatkan umat. Amiin.

Ada beberapa tujuan menulis yang perlu diketahui diantaranya: Tujuan menulis untuk menginformasikan, yaitu agar khalayak pembaca memperoleh pengetahuan dan mempunyai pemahaman baru tentang berbagai hal yang dapat terjadi di muka bumi ini.

Ada pula tujuan menulis untuk membujuk, penulis harus dapat mempengaruhi pembaca agar mendukung atau menyetujui apa yang penulis kemukakan dalam tulisannya. Di sini penulis harus mampu menyajikan tulisan dengan gaya bahasa menarik, akrab, bersahabat dan mudah dicerna.

Selain itu tujuan menulis juga untuk mendidik. Melalui tulisan yang disajikan para pembaca dapat menambah wawasan, pengetahuan, dan bertambah kecerdasannya. Hal ini dapat mengakibatkan seseorang lebih terbuka dan toleransi, menghargai pendapat orang lain dan cenderung lebih rasional.

Ada juga yang bertujuan menulis untuk menghibur. Tulisan-tulisan yang dihasilkan dapat membuat pembacanya tertawa, tersenyum senang dan merasa bahagia.

Itulah hasil pengalamanku belajar menulis dimalam pertama yang dapat aku cerna dan bagikan. Selamat belajar dan terus berlatih.

  

#KMP4diarpus

#KMP2021

#abadidalamfiksi

#NyiHeni

 

BIG WHY BLOGGER

    Bercerita tentang ngeblog banyak alasan yang masing-masing pribadi menulis blog. Berbagai latar belakang dan tujuan yang menggerakkan ...