Bab
1 Prolog
Herawati
yang akrab dipanggil teman-temannya dengan sebutan Hera. Gadis yatim piatu
ditinggal kedua orang tuanya karena kecelakaan pesawat. Sewaktu dirinya masih
kuliah semester 5 jurusan akuntansi. Setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang
tuanya, dia hidup bersama kakek dan neneknya. Namun malang dua tahun kemudian
kakeknya pun berpulang. Kini dirinya hidup bersama neneknya yang mulai renta
dan sakit-sakitan.
Herawati
Arini gadis desa yang sederhana. Wajah cantik alami tanpa sapuan make up berlebih.
Kulit putih bawaan dari lahir tanpa bantuan pemutih buatan. Tinggi badan
rata-rata orang Indonesia dengan berat badan ideal. Dibalut rok biru dan batik
IGTK dengan kerudung panjang menjuntai.
Matahari
panas serasa berada di ubun-ubun, membakar kulit seakan mencubit. Dengan
langkah lunglai Hera turun dari angkutan umum yang membawanya pulang dari
Parungkuda, setelah rapat Guru IGTK se-Kecamatan. Dengan tergesa Hera melangkah
ingin segera sampai di rumah, sudah
terbayang dipelupuk mata air putih jernih mengalir di kerongkongan yang
kehausan.
Langkahnya
terhenti mendadak, dikagetkan dengan
suara dentuman yang keras, diiringi suara pepohonan yang patah. Langkahnya
kembali cepat, berlari tunggang-langgang secepat yang dia dapat, setelah menyadari
arah suara yang mengagetkannya berasal dari dekat rumahnya.
“Nenek....Nenek.....Nenek......”
teriakannya semakin keras, tangisnya pun pecah, air mata mengalir deras tanpa
perintah. Setelah melihat rumah sederhananya porak poranda dihantam helikopter yang jatuh menimpa.
Hera
menyingkirkan puing-puing yang menindih tubuh neneknya. Tanpa berpikir panjang
tubuh nenek yang lemah diletakkan dipunggungnya dan berjalan perlahan menuju
tempat sementara yang dikira aman. Sesampainya dibawah pohon duku tubuh nenek
dibaringkan bersandar ke pohonnya.
Hera
kembali ke tempat kejadian. Tanpa ragu mendekati bangkai Helikopter yang sudah
pecah. Dilihatnya ada dua orang laki-laki di bangku depan. Hera mendekati orang
yang berada di jok penumpang terdengar rintihan kesakitan dan tak berdaya.
“Subhanallah,
Astagfirullah, Laillahaillallah” suaranya terdengar lirih nyaris tak terdengar
lalu pingsan tak terdengar lagi ada rintihan. Kakinya terjepit, kepala dan pelipisnya mengucurkan darah segar
sepertinya terbentur dan terkena goresan pecahan kaca.
Hera
mencoba membuka pintu helikopter yang sudah penyok, memukulnya dengan batu yang
dia temukan. Setelah berhasil pintu dibuka, diamati kaki yang tadi terjepit
sepertinya patah banyak darah dan tak dapat digerakkan. Hera bingung bagaimana cara
membawanya, tubuh laki-laki itu tinggi dan pasti berat. Hera melihat ke
sekeliling, terlihat ada kasur tempat tidur neneknya. Tak berpikir lama kasur
diseret mendekati korban, dengan perlahan kepala korban diletakkan dikasur,
sedikit demi sedikit badan korban digeser kekasur dan terakhir baru kaki yang
dipindahkan ke kasur.
Hera
mengambil kain panjang yang biasa dipakai selimut neneknya. Disobek memanjang
dibagi tiga, lalu kain itu dipakai
mengikat kasur dibagian kaki, satu lagi diikat dibagian badan, korban diikat seperti mumi dibungkus oleh
kasur. Kemudian satu lagi diikatkan dikasur dekat kepala dipakai untuk pegangan
agar dapat diseret. Tubuh gadis kecil yang lelah setelah seharian beraktipitas,
menyeret tubuh korban yang tingi dan tak berdaya, sungguh sangat kepayahan.
Baru beberapa meter tangannya sudah tidak mampu lagi menggerakkan korban yang
diseretnya. Tak habis akal tali pegangan Hera ikatkan dibahu kanannya, dengan
perlahan kembali bergerak menyeret korbannya ke tempat aman disamping neneknya.
Hera
meraba bahunya yang terasa basah dan perih, setelah melihat telapak tangannya
merah ternyata darah. Pantas saja sakit gumamnya pelan nyaris tak terdengar
sambil mendesis menahan sakit. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya Hera kembali melangkah
hendak kembali mendekati helikopter karena masih ada satu korban lagi yang
perlu diselamatkan.
Duar
...blum.....
Baru
saja beberapa meter, langkahnya kembali terhenti, kakinya lemas seperti jeli,
badannya ambruk, matanya melotot menatap nanar pada api yang membumbung tinggi
menerbangkan puing-puing helikopter yang meledak. Langkahnya replek mundur
kembali, jantungnya berdetak cepat, pandangannya perlahan menggelap dan Hera
pun tak sadarkan diri.
#KMP4diarpus
#KMP2021
#abadidalamfiksi
#NyiHeni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar