Rabu, 31 Maret 2021

Bab I Prolog

 


Bab 1 Prolog

 

Herawati yang akrab dipanggil teman-temannya dengan sebutan Hera. Gadis yatim piatu ditinggal kedua orang tuanya karena kecelakaan pesawat. Sewaktu dirinya masih kuliah semester 5 jurusan akuntansi. Setelah kecelakaan yang menimpa kedua orang tuanya, dia hidup bersama kakek dan neneknya. Namun malang dua tahun kemudian kakeknya pun berpulang. Kini dirinya hidup bersama neneknya yang mulai renta dan sakit-sakitan.

Herawati Arini gadis desa yang sederhana. Wajah cantik alami tanpa sapuan make up berlebih. Kulit putih bawaan dari lahir tanpa bantuan pemutih buatan. Tinggi badan rata-rata orang Indonesia dengan berat badan ideal. Dibalut rok biru dan batik IGTK dengan kerudung panjang menjuntai.

Matahari panas serasa berada di ubun-ubun, membakar kulit seakan mencubit. Dengan langkah lunglai Hera turun dari angkutan umum yang membawanya pulang dari Parungkuda, setelah rapat Guru IGTK se-Kecamatan. Dengan tergesa Hera melangkah ingin segera sampai di rumah,  sudah terbayang dipelupuk mata air putih jernih mengalir di kerongkongan yang kehausan.

Langkahnya terhenti mendadak,  dikagetkan dengan suara dentuman yang keras, diiringi suara pepohonan yang patah. Langkahnya kembali cepat, berlari tunggang-langgang secepat yang dia dapat, setelah menyadari arah suara yang mengagetkannya berasal dari dekat rumahnya.

“Nenek....Nenek.....Nenek......” teriakannya semakin keras, tangisnya pun pecah, air mata mengalir deras tanpa perintah. Setelah melihat rumah sederhananya porak poranda dihantam  helikopter yang jatuh menimpa.

Hera menyingkirkan puing-puing yang menindih tubuh neneknya. Tanpa berpikir panjang tubuh nenek yang lemah diletakkan dipunggungnya dan berjalan perlahan menuju tempat sementara yang dikira aman. Sesampainya dibawah pohon duku tubuh nenek dibaringkan bersandar ke pohonnya.

Hera kembali ke tempat kejadian. Tanpa ragu mendekati bangkai Helikopter yang sudah pecah. Dilihatnya ada dua orang laki-laki di bangku depan. Hera mendekati orang yang berada di jok penumpang terdengar rintihan  kesakitan dan tak berdaya.

“Subhanallah, Astagfirullah, Laillahaillallah” suaranya terdengar lirih nyaris tak terdengar lalu pingsan tak terdengar lagi ada rintihan. Kakinya terjepit,  kepala dan pelipisnya mengucurkan darah segar sepertinya terbentur dan terkena goresan pecahan kaca.

Hera mencoba membuka pintu helikopter yang sudah penyok, memukulnya dengan batu yang dia temukan. Setelah berhasil pintu dibuka, diamati kaki yang tadi terjepit sepertinya patah banyak darah dan tak dapat digerakkan. Hera bingung bagaimana cara membawanya, tubuh laki-laki itu tinggi dan pasti berat. Hera melihat ke sekeliling, terlihat ada kasur tempat tidur neneknya. Tak berpikir lama kasur diseret mendekati korban, dengan perlahan kepala korban diletakkan dikasur, sedikit demi sedikit badan korban digeser kekasur dan terakhir baru kaki yang dipindahkan ke kasur.

Hera mengambil kain panjang yang biasa dipakai selimut neneknya. Disobek memanjang dibagi tiga,  lalu kain itu dipakai mengikat kasur dibagian kaki, satu lagi diikat dibagian badan,  korban diikat seperti mumi dibungkus oleh kasur. Kemudian satu lagi diikatkan dikasur dekat kepala dipakai untuk pegangan agar dapat diseret. Tubuh gadis kecil yang lelah setelah seharian beraktipitas, menyeret tubuh korban yang tingi dan tak berdaya, sungguh sangat kepayahan. Baru beberapa meter tangannya sudah tidak mampu lagi menggerakkan korban yang diseretnya. Tak habis akal tali pegangan Hera ikatkan dibahu kanannya, dengan perlahan kembali bergerak menyeret korbannya ke tempat aman disamping neneknya.

Hera meraba bahunya yang terasa basah dan perih, setelah melihat telapak tangannya merah ternyata darah. Pantas saja sakit gumamnya pelan nyaris tak terdengar sambil mendesis menahan sakit. Tanpa menghiraukan rasa sakitnya Hera kembali melangkah hendak kembali mendekati helikopter karena masih ada satu korban lagi yang perlu diselamatkan.

Duar ...blum.....

Baru saja beberapa meter, langkahnya kembali terhenti, kakinya lemas seperti jeli, badannya ambruk, matanya melotot menatap nanar pada api yang membumbung tinggi menerbangkan puing-puing helikopter yang meledak. Langkahnya replek mundur kembali, jantungnya berdetak cepat, pandangannya perlahan menggelap dan Hera pun tak sadarkan diri.

           

#KMP4diarpus

#KMP2021

#abadidalamfiksi

#NyiHeni


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...