Kamis, 31 Oktober 2019

JERITAN ALISA





JERITAN ALISA

Paman berbalik pada orang asing yang memegang Alisa yang sudah tidak digendong lagi. Tapi pegangan pada tangan Alisa sepertinya masih erat. Terlihat Alisa seperti merasa kesakitan.

“Berikan anak itu, lalu kamu nanti balik lagi kesini seminggu lagi. Akan aku lunasi semuanya.” pinta Paman lantang.

“Apa jaminannya kalau kamu mau melunasi hutangnya?”tanya orang asing itu.

“Kalau dalam seminggu aku tak dapat melunasi uang itu, maka kamu boleh membawa anak itu.”  pintanya pada orang asing itu.

“Baik aku beri waktu kamu seminggu tapi dengan syarat uang yang harus dibayarkan jadi 2 juta. Kalau kamu sanggup saya tinggalkan anak ini, kalau kamu tidak sanggup sekarang pun akan ku bawa anak ini.” Ancam orang asing itu.

“Paman..., Bibi... tolong aku, aku takut tolong Paman...” Alisa menjerit-jerit sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman orang asing tersebut. Melihat keadaan Alisa yang meronta-ronta dan ketakutan Paman tak berpikir panjang, sambil menatap orang asing itu lekat-lekat karena marah Paman berkata.

“Lepaskan anak itu akan aku lunasi semua hutang orang itu.” sambil menunjuk ke arah Fahmi.

“Benar-benar orang tua yang tidak bertanggung jawab, melihat anak meronta tak sedikit pun ada rasa belas kasihan.” Kata Paman lagi. Fahmi hanya diam mematung. Tak sedikit pun terlihat mau bicara apalagi membela anaknya Alisa.

Mendengar perkataan Paman, pegangan orang asing itu terasa melonggar. Alisa tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia tarik tangannya dengan keras lalu lari memburu pada pamannya. Melihat keponakannya lari ke arahnya Paman pun memburu merentangkan tangannya langsung memeluknya dengan erat. Dengan tersedu-sedu Alisa menangis dipelukan pamannya. Sambil menggendong Alisa, Paman pergi meninggalkan orang asing dan Fahmi ayah Alisa diikuti oleh Bibi dibelakangnya sambil mengusap-usap punggung Alisa.

            Malam itu Alisa dan Raka sudah tidur. Raka adalah anak satu-satunya Paman dan Bibi. Usianya tidak jauh berbeda dengan Alisa hanya saja Raka laki-laki sedang Alisa perempuan. Walau pun beda jenis kelamin, keduanya akrab sebagai sahabat. Jarang sekali mereka berselisih selalu bermain bersama. Sebelum ibunya meninggal Alisa dan Raka hampir selalu bersama menemani Alisa merawat ibunya. Walaupun hanya sekedar mengantar makanan dari ibunya untuk ibu Alisa.

            Paman dan Bibi sedang berunding membahas untuk penyelesaian kasus Alisa. Paman berpikir keras mencari solusi bagaimana cara mendapatkan uang 2 juta dalam waktu seminggu. Bibi mencatat menginventarisir barang-barang berharga yang dapat dijual.

            “Pak, kalau menjual kambing dan ayam semuanya paling dapat Rp 8.00.000. itu pun kalau ada yang mau membeli.” Kata Bibi pada Paman.

            “Ya, ya, kalau menggadaikan tanah yang dibelakang bagaimana Mah?” tanya Paman pada Bibi.

            “Ya itukan tempat kita satu-satunya mencari nafkah. Tapi kalau memang ada yang mau menggadainya ya tidak ada jalan lain Mama setuju saja.” Kata Bibi.

“Baiklah kalau begitu besok pagi sebelum ke kebun aku ke rumah Pak Lurah dulu menawarkan kebun kita. Lalu ke Mang Adul menawarkan kambing siapa tahu dia punya uang untuk membeli kambing kita. Ayo kita tidur sudah malam, kita harus jaga kondisi supaya bisa menyelesaikan masalah. Jangan sampai nanti kita sakit malah bertambah lagi masalah yang kita hadapi.”  ajak Paman sambil beranjak memeriksa pintu depan.

Bagaimana usaha Paman dan Bibi dalam mendapatkan uang untuk mempertahankan Alisa? Apakah Alisa dapat dipertahankan? atau terpaksa harus diserahkan karena tidak cukup uang yang diberikan? ikuti cerita selanjutnya....


ooooooooooOOOoooooooooo




Rabu, 30 Oktober 2019

AKU DIJADIKAN PEMBAYAR UTANG AYAH




AKU DIJADIKAN PEMBAYAR UTANG AYAH

Bibi sangat terkejut dengan apa yang ada dihadapannya. Tubuh ibu yang sudah kaku ditindih oleh tubuh kecil mungil anak usia 5 tahun. Alisa tertidur di atas tubuh ibunya, Sesekali isak dan sesenggukan masih terlihat dari tarikan napasnya. Suara tangisannya sudah tidak terdengar lagi.

Perlahan Bibi menyimpan makanan yang tadi dibawanya. Untung tidak jatuh sehingga tidak membangunkan Alisa yang tertidur sambil memeluk ibunya. Dengan berurai air mata Bibi mengangkat tubuh Alisa yang masih tertidur. Membawa Alisa ke rumahnya dan memberitahukan suaminya kalau ibu Alisa sudah meninggal.

Sepeninggalan ibunya Alisa tinggal bersama Paman dan Bibi karena bapaknya jarang pulang dan tak peduli dengan Alisa. Walau masih kecil Alisa sangat mandiri. Kehidupan serba sulit memaksa Alisa untuk rajin dan mengerjakan segala sesuatu sendiri.

Suatu hari Alisa pamit pada Bibinya mau melihat rumah peninggalan ibunya. Alisa merusaha membersihkan rumahnya dari debu dan kotoran lainnya. Ketika sedang asik bersih-bersih tiba-tiba ayahnya datang bersama dengan teman-temannya. Alisa takut ia jongkok di sudut ruangan bersembunyi dekat lemari. Badannya bergetar, tangannya berkeringat dingin, wajahnya pucat. Samar-samar terdengar ada yang berkata. Alisa tidak mengenali suara itu. Mungkin teman ayahnya.

“Hanya ini yang kau punya?” tanyanya orang itu

“Iya tak ada lagi,  hanya ini yang tersisa dari harta mantan istriku.” Kata Fahmi.

“Apa yang harus aku bawa? tak ada satu pun yang dapat dijual.” kata Malih teman ayahnya. Lalu orang itu berjalan-jalan mencari-cari barang yang berharga. Tapi tak menemukan satu pun barang yang dapat dijual.  Sambil menendang kaleng kosong bekas minuman orang itu beranjak pergi.
Bruk...

“Aduh,” Alisa memegang kakinya yang terkena tendangan kaleng kosong. Mendengar ada suara yang mengaduh orang itu berbalik. mengedarkan pandangannya  mencari sumber suara. Dan ternyata di balik lemari butut ada gadis kecil kurus sedang berjongkok. Laki-laki itu mendekati Alisa, Alisa hanya tertunduk menutup mukanya dengan kedua tangannya yang gemetar. Wajahnya yang pucat menandakan ketakutan yang tak terkira. Dengan kasar orang itu menggendongnya.

“Tolong Ayah Alisa takut, Ayah....” Alisa berteriak-teriak minta tolong. Tangannya memohon minta pertolongan pada ayahnya. Tapi Ayahnya hanya membisu. Tak ada rasa kasihan sedikit pun pada Alisa, padahal Alisa meronta-ronta minta tolong tak mau dibawa.

“Turunkan anak itu!” Suara berat penuh keberanian menghentikan langkah orang asing itu. Masih menggendong Alisa orang itu berbalik melihat siapa yang menyuruhnya. Keningnya mengernyit dan bertanya.

“Kamu siapa berani memerintahku?” tanyanya masih menggendong Alisa.

“Aku paman dari anak itu.” Jelas Paman pada orang itu tanpa rasa takut sedikit pun.

“Apa hak mu terhadap anak ini, dia milikku ayahnya sudah menyerahkannya padaku untuk membayar hutangnya.” jelas orang asing itu.

“Dimana Ayahnya sekarang?” tanya Paman pada orang asing itu.

“Tuh dia masih di dalam.” Jawab orang itu sambil menunjuk ke dalam rumah.

“Fahmi, keluar kau, mengapa kau serahkan anakmu pada orang itu?” tanya Paman penuh emosi dan khawatir bercampur. Dengan langkah gontai Fahmi keluar dari rumah. Ada rasa takut tergambar diwajahnya melihat wajah geram Paman.

Dengan lirih Fahmi berkata” Aku kalah main judi, aku berhutang padanya satu juta. Dia ikut ke rumah mau mengambil apa pun yang dapat diambilnya untuk membayar utangku. lagi pula aku tak menginginkan anak pembawa sial itu” Fahmi menjelaskan.

“Astagfirullahaladzim... Fahmi, Fahmi...” sambil geleng-geleng kepala Paman mencerna apa yang ayah katakan.

Paman berbalik pada orang asing yang memegang Alisa yang sudah tidak digendong lagi. Tapi pegangan pada tangan Alisa sepertinya masih erat. Terlihat Alisa seperti merasa kesakitan.


Bagaimana kelanjutan ceritanya? ikuti terus ...
Bersambung....


ooooooooooOOOooooooo

GUBUG TERPENCIL




GUBUG TERPENCIL

Gadis cilik itu bernama Alisa Nurindriyani baru berusia 5 tahun. Dengan badan kurus yang kurang makan. Rambut hitam terlihat kusut tak terawat.  Hidung mancung dan bibir mungil tidak bisa menyembunyikan kecantikan aslinya. Bajunya yang banyak noda dan kumal. Kakinya yang mungil tak beralas. Menelusuri pasar sayuran membawa kresek di tangan. Sesekali memunguti sayuran yang berjatuhan. Setelah kreseknya berisi beberapa sayuran hasil pungutannya dia berjalan perlahan meninggalkan pasar yang mulai sepi.

Kaki-kaki kecil melangkah menapaki jalanan kotor dan becek tanpa alas. Panas menyengat seakan matahari ada di ubun-ubun. Dia terus berjalan tak takut kulitnya kusam karena sinar mentari. Ketika rumahnya terlihat dari kejauhan dia mempercepat langkahnya ingin segera sampai di rumah.

“Assalamualaikum,” ucapnya sambil membuka pintu.

“Waalaikum salam.” ada jawaban lirih dari dalam.

“Ibu, aku bawa sayuran.” kata Alisa sambil memperlihatkan kantong kresek yang dipegangnya.

Sambil tersenyum lirih ibunya bertanya ”Dapat sayuran dari mana?”

“Dapat mungut dari pasar Bu,” jawabnya polos.

“Alisa bilang dulu tidak pada yang punya sayuran?” tanya ibunya lagi.

“Bilang begini, Bang sayuran yang jatuh ini boleh nggak buat aku? kalau di jawab boleh baru Alisa pungut, kalau tidak menjawab Alisa tinggalkan saja dan mencari lagi yang lain.” terang Alisa pada ibunya.

Sudah hampir satu tahun Alisa merawat ibunya sendiri. Ayahnya sering pulang malam dan dalam keadaan mabuk. Pagi-pagi berangkat lagi tak pernah peduli pada anak dan istrinya.

Di Gubuk kecil yang terpencil itu Alisa tinggal bersama ibunya. Dinding yang terkelupas dan kusam, atap yang sudah banyak terlepas, dan pintu yang tak pernah dikunci. Lantai yang beralaskan tikar yang sudah lusuh, dengan bantal yang sudah kumal. Sebagai alas tidur ibu dan Alisa. Ibunya yang sakit-sakitan sejak melahirkan Alisa membuat tubuhnya tak dapat bergerak jauh. Hartanya perlahan habis dipakai berobat dan keperluan hidup sehari-hari. Diperparah lagi oleh ayahnya yang suka mabuk-mabukan.

Fahmi Alpiansyah adalah nama yang tertera dalam KTP ayahnya. Tapi sejak diketahui bayinya perempuan, Fahmi tidak menganggap Alisa anaknya. Dia kecewa karena yang lahir perempuan, sedangkan impiannya menginginkan anak laki-laki. Terlebih diketahui istrinya tak dapat melahirkan lagi karena mengidap suatu penyakit. Fahmi menganggap istrinya tak berguna dan Alisa sebagai pembawa sial.  

Suatu ketika pagi-pagi sekali Alisa menangis meraung-raung memanggil ibunya. Menggoyang-goyangkan badan ibunya yang bergeming. Alisa meraung-raung sambil sesenggukan tak ada yang mendengar karena rumahnya terpencil jauh dari tetangga. Untung saja bibinya yang rumahnya agak jauh datang hendak mengantar makanan untuknya.

“Assalamualaikum,” Bibi mengucap salam. Tak ada jawaban dari dalam. Dengan sedikit curiga Bibi terus masuk ke dalam karena pintunya tak pernah dikunci.

“Astagfirullahaladzim, lailahaillah.” Bibi mengucap istigfar mengatupkan tangan ke mulutnya, badannya gemetar merinding, tangannya berkeringat dingin.

Apa yang Bibi temukan? Apa yang terjadi pada ibu dan anak itu? ikuti cerita berikutnya...
Bersambung....

ooooooooooOOOoooooooo

Minggu, 27 Oktober 2019

Aku Cinta Indonesia



AKU CINTA INDONESIA

“Aku duduk di bawah pohon yang rindang. Di sebuah bukit yang tinggi. Dengan rasa bangga aku menatap sejauh mata memandang. Sebuah danau dengan air yang berkilau. Pesawahan menghampar bak permadani hijau. Dan tepat di bawah ku tanah lapang yang luas. Tempat kami bermain layangan, bermain bola, bermain kastik dan lebih sering bermain kejar-kejaran, berpesta pora dengan lumpur dikala hujan. Semuanya indah dan berkesan. Itulah Tanah Airku ...” begitulah tulisan yang kubaca pada sebuah buku tua berwarna hitam. Tulisan dari tinta yang mulai memudar. Dengan kertas yang mulai menguning. Kutemukan buku itu kala aku mencari peta lama di lemari buku koleksi kakek.

“Yah, tulisan siapa ini?” Tanyaku pada ayah yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya itu.

“Coba lihat.” Pinta Ayah sambil mengulurkan tangannya meminta buku itu padaku.

“Oh itu punya kakek pada waktu masih muda dulu.” Jawab Ayah setelah melihat-lihat buku yang kuberikan.

“Apa maksud dari tulisan ini, Yah?” tanyaku penasaran.

Ayah mulai bercerita “Ehmmm, dulu Kakek pernah bercerita pada Ayah. Anak-anak Indonesia yang hidup pada masa penjajahan Belanda dahulu jauh berbeda dengan anak-anak sekarang. Pada zaman Penjajahan Belanda terasa sangat sulit. Jangankan mau sekolah mau pakai sepatu saja susahnya setengah mati.”

“Tapi Kakek sekolah, bukan?”tanyaku menyela.

“Yah Kakek mu sekolah, karena buyutmu seorang wedana jadi anaknya bisa sekolah. Hanya anak-anak dari orang yang berpangkat diizinkan bersekolah.”

“Lalu apa maksud tulisan Kakek pada buku ini?” tanyaku.

“Kata Kakek dulu, Kakek hanya berani menulis di buku harian saja. Karena Kakek buyut seorang wedana dan digaji oleh Belanda. Penjajah melarang anak-anak Indonesia mencintai Indonesia ini. Ayah bersyukur dilahirkan setelah merdeka. Jadi bisa sekolah dengan tenang. Kamu juga harus bersyukur karena hidup di negara merdeka. Kita harus berterima kasih pada para pahlawan yang telah gugur merebut kemerdekaan.” Cerita Ayah.

“Bersyukur disini bukan saja memuji Tuhan, tetapi juga mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa dan negara agar lebih maju.” Ayah melanjutkan ceritanya.

“Terus apa yang harus aku lakukan, Yah?” tanyaku.

“Belajarlah dengan giat. Itu salah satu cara bersyukur. Dengan belajar, kelak kamu akan turut menegakkan dan mengisi kemerdekaan.” jelas Ayah.

“Aku bersumpah, Ayah!” kataku sambil membusungkan dada. Lalu kunyanyikan lagu Indonesia Raya di depan Ayah. Kubacakan teks Sumpah Pemuda. Kuucapkan pula sila-sila dalam Pancasila, biar ayah percaya kalau aku sudah hapal Pancasila.

“Aku ingin mencintai tanah air ini sampai titik darah penghabisan. Seperti yang pernah Kakek berikan kepada bangsa dan negara tercinta ini.” Kataku selanjutnya.

Ayah menepuk bahuku sambil berkata, ”Tidurlah sayang, besok jangan sampai kesiangan, Ayah bangga padamu sudah belajar mencintai negara kita Indonesia.”

Aku pun beranjak meninggalkan ayah yang melanjutkan pekerjaannya.

Sekian


oooooOOOooooo

Sabtu, 26 Oktober 2019

Jaket





JAKET

Dani anak SMP kelas 7 yang baru berumur 12 tahun ini sudah pandai membawa motor.  Walaupun dilarang-larang untuk belajar motor karena masih anak-anak. Kakinya pun belum sampai betul menginjak dengan sempurna pada tanah ketika naik motor. Tapi tetap saja mencuri-curi membawa motor kakaknya. Jika kakaknya sedang tidur sepulang kerja sip malam. Kunci motornya tergeletak di meja, tanpa permisi kadang-kadang Dani mengambilnya sepulang sekolah.

Suatu hari Dani mengantar kakek ke dokter langganannya untuk kontrol. Setiap sebulan sekali kakeknya selalu mengecek kadar gula darah dan tekanan darahnya. Penyakit gula yang dideritanya mengharuskannya untuk kontrol setiap bulan.

“Dan, Bapak kamu kemana?” Tanya Kakek pada Dani yang lagi makan sepulang sekolah.

“Belum pulang Kek, masih di sawah mungkin!”Jawab Dani di meja makan.

“Kalau Ibu memang kemana Kek? Dari tadi tidak terlihat.” Dani balik bertanya.

“Ibumu tadi ikut mobil Wa Asep katanya mau kondangan keponakan Wa Asep mau menikah.” Jawab Kakek.

“Oh jadi Kakek dari tadi sendiri di rumah?” Tanya Dani lagi.

“Iya, tidak lama sih, setelah ibumu pergi tak lama berselang kakakmu pulang kerja, cuma makan kayanya langsung tidur di kamarnya. ” Jawab Kakek.

“Dan kamu bisa motor kan?” Tanya Kakek

“Bisa, memangnya kenapa Kek?” Dani balik bertanya.

“Antar Kakek ke dokter yu jadwal kontrol hari ini, Kakek jalan ke sananya cape jalurnya tidak ada angkutan umum.” Pinta Kakek pada Dani.

“Hayu Kek!” Jawab Dani.

“Tunggu sebentar ya, Kakek ngambil jaket dulu.” Kata Kakek sambil kembali ke kamar mau mengambil jaket. Bulak-balik Kakek mencari jaket belum ditemukan juga. Dani mencoba membantu mencari jaket Kakek. Hampir semua lemari dibuka. Di kursi, di kamar bahkan sampai ke keranjang tempat cucian dicari-cari tidak ditemukan.  

“Dan, coba telepon ibumu menyimpan jakek kakek dimana?” Pinta Kakek pada Dani.

Dani menurut menelepon ibunya menanyakan jaket Kakek. Kata Ibu biasanya digantungan baju di kamar Kakek. Tapi dicari-cari tak juga ditemukan. Karena sudah lama dicari tidak ditemukan juga. Akhirnya Dani menyarankan Kakek supaya memakai jaket punya kakak Dani. Dan akhirnya mereka pun berangkat.

Setibanya di tempat praktek dokter, Kakek turun dari motor. Ketika mau masuk dipintu pendaftaran, Kakek bukannya masuk dan mendaftar malah jongkok di depan pintu sambil memperhatikan sesuatu. Dani heran lalu beranjak mendekati Kakek. Dani tersenyum getir melihat Kelakuan Kakeknya. Kakeknya sedang memperhatikan kesedan di depan pintu. Di sana teronggok manis jaket Kakek yang sangat dikenalinya. Pantesan tadi dicari di rumah seheboh apapun tak mungkin dapat ditemukan.

Sekian

Pesona mu







Pesona mu
Sang raja siang telah tersenyum dengan bangga
memamerkan hangatnya seantero dunia
Burung-burung pun bernyanyi menyambutnya
Melengkapi indahnya pesona alam raya


Hamparan hijau menghampar tak bertepi
Laksana permadani melapisi bumi
Tumpukan pematang meliuk-liuk bak lukisan alam
Indahnya tak sekedar pesona alam


Semilir angin pagi yang cerah
Menyibak lembut nyiur sebilah
Mengurai baris padi jadi terbelah
Menyapa lembut petani di sawah


Alam penuh pesona yang Kau tampilkan
Tak semua orang dapat merasakan
Indahnya pesona yang menakjubkan
Bahkan ada yang tak pernah membayangkan


Ya Allah ...
Asaku terbang melayang setinggi awan
Rasa kagum dan syukur tak pernah hilang
Menikmati pesona alam yang kau suguhkan
Sungguh aku tak pernah merasa bosan.


oooooOOOooooo

Kamis, 24 Oktober 2019

MEMANCING




MEMANCING

Hari Minggu pagi Eksa dan Dias, kakak beradik yang masih sekolah SD ini sudah heboh meminta uang untuk membeli pancingan.  Mereka sudah janjian kemarin sama teman-temannya mau memancing dikali Cicatih.

“Mah ayo dong minta uang buat beli kail.” Eksa mendesak mamanya.

“Masih pagi nanti warungnya juga belum buka.” Kata mamanya mengelak.

“Memang bisa buat jejernya?” Tanya mama meragukan kemampuan Eksa.

“Mau minta dibuatkan sama kakek kumis.” Jawabnya sambil terus membujuk mamanya minta uang.

“Memang kakek mau membuatkan jejernya?” Tanya mama lagi.

“Iya makanya buru-buru minta uang untuk beli kailnya, nanti kakeknya keburu pergi ke kebun.” Eksa mulai khawatir.

Mama mengalah lalu ke kamar mengambil dompet mengambil uang Rp 5000 dan membelikannya pada Eksa.

Tak menunggu lama Eksa mengambil sepedanya di Garasi. Dengan semangat mengayuh sepedanya ke warung yang lumayan jauh jarak dari rumahnya.

“Kek, Kek... “ Teriak Eksa memanggail kakeknya. Masih di atas sepeda dan belum sampai ke rumah Eksa sudah berteriak memanggil-manggil kakeknya. Eksa takut kakeknya keburu pergi ke kebun, nanti susah lagi mencarinya.

Dengan tergopoh-gopoh kakek keluar dari dapur sudah siap dengan pakaian ke kebun. Celana pangsi yang panjangnya dibawah lutut. Kaos lengan panjang yang sudah penuh dengan noda tapi bersih dapat nyuci. Golok dengan serangkanya yang diikatkan dipinggang. Sedangkan cangkulnya masih berdiri disamping rumah ditutup topi rumbianya yang belum dipakai.

“Ada apa teriak-teriak.” Tanya kakek sedikit kaget dan heran melihat cucunya pagi-pagi sudah mencarinya.

“Itu Kek, itu...” Eksa dengan tereangah-engah mau menjelaskan maksudnya.

“Ayo istirahat dulu minum dulu tenang-tenang.” Perintah kakek sambil menuntut Eksa ke dapur dan meminta air minum hangat pada nenek.

Setelah minum dan terlihat agak tenang kakek kembali bertanya. Khawatir terjadi apa-apa pada cucunya itu.

“Ayo katakan ada apa?” Tanya Kekek lagi pada Eksa.

“Ini Kek, teman Eksa nanti siang mengajak mancing di Sungai Cicatih. Kami mau dibuatkan jejer sama kakek buat mancing nanti.” Kata Eksa menjelaskan.

“Oohhh dikira ada kejadian apa gitu.” Kakek lega mendengar penjelasan Eksa. Kakek khawatir ada hal yang tak diinginkan sehingga cucunya berteriak-teriak memanggilnya pagi-pagi begini.

“Kamu bawa kailnya?” Tanya kakek lagi.

“Ada ini barusan beli dulu ke warung sana yang dekat SPBU.” Jawab Eksa sambil menyodorkan plastik keresek  yang dipegangnya.

“Bagus kalau begitu, sekalian dengan benangnya nggak?” Tanya Kakek kembali.

“Iya ini sudah.” Jawab Eksa lagi.

“Ayo bawa sini. Eh kamu sudah makan belum?” Tanya Kakek pada Eksa lagi.

“Kalau begitu kamu makan dulu minta sama nenek sana ke dapur. Sementara Kakek memotong banbunya.” Perintah Kakek pada Eksa. Eksa menurut lalu minta makan pada neneknya di dapur.

Eksa menghampiri Kakeknya di samping rumah yang duduk di jojodog (bangku kecil yang terbuat dari kayu bekas) sambil membelah bambu kurang lebih sepanjang satu meter. Bambu yang sudah dibelah dengan golok lalu dibelah lagi selebar tiga senti. Kemudian dihaluskan dengan pisau raut.

Sambil duduk di batu yang ada didekat situ. Eksa memperhatikan kerja kakek dengan lincah dan cekatan menyerut bambu supaya halus. Sekotak peralatan kakek tak jauh ada disitu. Ada palu, pahat, serutan manual, obeng, linggis dan lain sebagainya. Eksa tak tahu semua peralatan kakaknya yang ada di kotak itu. Tak perlu waktu lama jejer pun sudah jadi.

Setelah jejernya rapi lalu kakek meminta kail yang masih dipegang Eksa dalam kreseknya.
“Mana kail dan benangnya?” Tanya kakek.

“Ini Kek,” jawab Eksa sambil menyodorkan kantung kresek yang dari tadi di peganganya.
Kakek mengambil kantong kresek yang diberikan Eksa. Lalu mengambil benang dan kail yang ada di dalamnya. Dengan cekatan kakek memasang benang dan kail pada jejer yang tadi dibuatnya. Tak berapa lama kail pancingan pun selesai sudah.

“Nih” Kakek menyodorkan kail yang sudah jadi pada Eksa.

Hih ... Eksa tersenyum senang menerima kail buatan kakeknya. Tak menyangka dia akan mempunyai kail sebagus itu.

“Kek buatkan satu lagi buat Dias, Dia pasti mau nanti malah mengambil punya Eksa.” pintanya pada kakek.

“Oh baiklah.” Katanya sambil tersenyum. Senang buatannya disukai cucunya itu.

“Kalau dulu kakek tak pernah dibuatkan. Kakek berusaha sendiri sama teman-teman bergotong royong membuat pancingannya. Teman-teman patungan uang untuk membeli kailnya. Sedangkan kakek meminta bambunya pada Kakek buyut. Jadi teman-teman tidak perlu membeli bambu. Dan kakek diberi mata kailnya. Kami sama-sama saling membantu membuat jejer untuk memancing. Kalau yang tidak punya jejer dan kail kami bergantian menunggu pancingannya. Kalau sudah bosan menunggu ada yang mandi dulu di Sungai Cicatih. Ada juga yang mecari udang dengan cara memukul batu yang agak besar dengan batu lain. Setelah itu diperiksa, biasanya kalau ada udangnya suka diam karena kaget atau karena terjepit oleh batu waktu tadi dipukul. Setelah puas memancing. Hasil pancingannya kami bakar lalu dimakan rame-rame dengan nasi yang dibawa dari rumah. Walau hanya pakai garam bumbunya tapi enak sekali rasanya.” Cerita Kakek dengan wajah berbinar menceritakan masa-masa indah waktu kecilnya.

Tak lama pancingan yang dibuat pun selesai sudah. Dan diberikan pada Eksa untuk adiknya yang sedang menunggu di rumahnya.

***

Pada sore harinya Eksa dan Dias kembali ke rumah Kakek disuruh mama membawakan kue bolu kukus untuk kakek dan neneknya.

“Assalamualaikum.” Keduanya mengucapkan salam.

“Waalaikum salam” Suara nenek menjawab salam. Tak berapa lama pintu dapur di buka.

Eksa dan Dias turun dari sepeda. Dias lalu salam dan terus masuk ke dalam setelah menyerahkan kresek kue bolu kukus pada nenek. Sedangkan Eksa menyandarkan sepedanya dulu. Melihat cucu-cucunya datang kakek menutup bukunya. menerima salam cucunya yang kemudian duduk dihadapannya.

“Bagaimana banyak nggak hasil pancingannya?” Tanya Kakek antusias ingin tahu pengalaman cucu-cucunya memancing.

“Wah payah Kek, Cuma dapat satu itu pun kecil sebesar ibu jari.” Jelas Eksa menceritakan pengalamannya.

“Dapatnya sampah melulu, Si Parhan malah dapat bantal Kek. Disangkanya dapat ikan besar karena pancingnya berat eeehhhh tidak tahunya malah bantal yang dibuang.” Dias menambahkan pengalaman mereka tadi pagi. Tawa mereka pun pecah menertawakan pengalaman tadi pagi.

“Nah makanya jangan buang sampah sembarangan. Sebab sampah yang dibuang sembarangan nantinya memenuhi selokan dan terbawa ke sungai. Jadi sungainya kotor dan ikan jadi tidak berkembang biak karena airnya tercemar.” Jelas kakek menasehati cucu-cucunya.

“Dan meminimalisir memakai plastik.” Tambah nenek yang menyimak pembicaraan mereka sambil membawa kolak sampeu gula merah yang wanginya menggoda.

“Contohnya seperti apa Nek cara meminimalisir pemakaian plastik.” Tanya Eksa antusias.

“Plastik yang pernah kita pakai dan masih bersih kita simpan supaya bisa digunakan lagi, tidak langsung dibuang. Kalau untuk makanan pakai wadah yang bisa dicuci. Sehingga tidak memakai plastik yang sekali pakai langsung buang.” Nenek menjelaskan sambil menyendoki kolek sampeu  pada mangkuk kecil untuk kakek dan cucunya. 

Mereka menikmati hidangan sore itu sambil bercengkrama.

Sekian.

oooooooOOOoooooo 


BIG WHY BLOGGER

    Bercerita tentang ngeblog banyak alasan yang masing-masing pribadi menulis blog. Berbagai latar belakang dan tujuan yang menggerakkan ...