Senin, 30 September 2019

Ulat Sirsak





ULAT SIRSAK

Hari Minggu Raisa berlibur ke rumah kakeknya. Dia berangkat hari Sabtu sore sepulang sekolah Diniyah diantar Abinya. Pagi-pagi sekali sekitar jam 4.30. Raisa sudah bangun dan ikut salat berjamaah dengan kakek dan nenenknya. Selesai salat dilanjutkan dengan membaca Al Quran diperhatikan neneknya. Sedangkan kakek membaca Al Quran dan menelaah arti dan kandungan ayatnya.

Seperti kebiasaan di rumahnya, Raisa selalu membantu ibunya untuk beres-beres rumah, menyapu dan cuci piring. Demikian juga ketika di rumah nenek, Raisa tidak canggung lagi tanpa disuruh Raisa melakukannya dengan senang hati. Sementara nenek memasak nasi dan lauk pauknya.

Matahari baru juga muncul sinarnya terasa hangat di badan yang kedinginan setelah mandi pagi. Kakek sudah siap dengan perlengkapannya. Memakai pakaian untuk ke Sawah lengkap dengan cetoknya. Golok diikatkan dipinggang, cangkul dipikulan bagian depan dan dibelakangnya sabit dan ceret air minum yang masih panas lengkap dengan cangkirnya. Dengan sigap dan semangat kakek pergi ke Sawah karena hari ini mau panen padi.
            
Setelah nasi dan lauk pauknya matang Raisa dan Nenek menyusul Kakek ke Sawah. Kami menyusuri jalan setapak lalu menyembangi sungai tanpa jembatan. Karena sungainya sedang surut akibat kemarau panjang.
            
         Setibanya di Sawah tampak kakek dengan tiga orang pegawai lainnya sedang bekerja. Satu orang yang sedang menyabit padi, satu orang lagi mengangkut hasil sabitan ketempat perontokan bulir padi, dan yang seorang lagi memukul-mukulkan padi yang sudah disabit supaya bulir padinya rontok. Sedangkan kakek membersihkan sisa-sisa daun padi yang tercecer dalam bulir padi lalu memasukkannya bulir padi yang sudah bersih dalam karung yang telah disediakan.
            
          Raisa yang menjingjing rantang sayuran, sedangkan nenek membawa bakul nasi dan peralatan makannya. Nenek langsung menata makanan di Saung (sejenis rumah tempat berteduh yang ada di sawah) yang beralaskan daun pisang.
“Ayo panggil kakeknya.” Nenek menyuruhku memanggil Kakek untuk makan.
“Ke Ayo makan.” Panggil Raisa berteriak supaya Kakek mendengar ajakannya.
“Ya!” sambil menoleh Kakek menjawab ajakan Raisa. Lalu Kakek mengajak teman-temannya untuk mencuci tangan dan makan.

Raisa makan bersama rasanya nikmat sekali setelah tadi kerja bantu-bantu nenek terus jalan capek sudah terasa lapar. Begitu makan bersama dengan pemandangan sawah yang menghampar diselingi semilir angin yang sepoi-sepoi terasa sejuk di menerpa kerudungRaisa.
            
          Selesai makan Raisa berjalan-jalan menyusuri pematang. Memanen rawit yang sudah matang, memetik daun kemangi untuk lalapan, ada juga kacang panjang yang di tanam di pematang sawah. Tiba di bawah pohon sirsak Raisa melihat ada yang matang. Lalu mencoba memanjat dan hendak mengambilnya.

         Baru juga beberapa tahap, Raisa memegang sesuatu yang kenyal dan besar. Raisa kaget dan replek Raisa melepaskan pegangannya dan jatuh. Raisa menangis dan minta tolong.
“Tolong...tolong....” suara Raisa meminta tolong
            
           Mendengar suara yang meminta tolong, tanpa pikir panjang Kakek langsung lari ke arah suara berasal menyusul Nenek dan seorang pegawai Kakek. Mereka khawatir terjadi apa-apa pada Raisa.
Setelah menemukan Raisa yang sedang menangis di bawah pohon sirsak kakek bertanya.
“Ada apa” tanya Kakek sambil terengah-engah setelah berlari.
“Aku jatuh dari pohon” Jawab Raisa sambil mennangis.
“Kamu manjat pohon sirsak dan jatuh? mana yang sakit” tanya kakek khawatir. Sambil mengangkat badan Raisa supaya berdiri dan membersihkan tanah-tanah yang menempel di baju dan badan Raisa.
“Iya aku mau mengambil sirsak yang matang, tapi tadi aku memegang sesuatu yang kenyal dan geli, aku kaget lalu melepaskan peganganku.” Jawab Raisa menjelaskan kejadiannya.
“Oh dimana?” tanya Kakek lagi.
“Di sana.” Raisa menunjuk tempat tadi memegang sesuatu.

Kakek  mengambil sesuatu yang menempel di pohon sirsak. Ternyata ulat yang besar dan berwarna hijau hampir sama dengan warna daunnya. Lalu Kakek menyuruh pegawainya untuk mengambil buah sirsak yangsudah matang.

Sesampainya di Saung nenek memotong-motong buah sirsak menjadi beberapa bagian. Raisa menikmati buah itu di bawah terik matahari siang yang panas.
“Eeeemmmmmm... nikmat juga memakan buah sirsak hasil panen langsung dari pohon, siang-siang panas begini.” batin Raisa menikmati buahnya.
Sekian

oooooooooooooooooooooooOOOoooooooooooooooooooooo

Emak


                                                                              EMAK 


Emak adalah sebutan Asep pada ibunya. Emak orangnya sangat sabar. Sejak ditinggal ayahnya Asep hidup berdua dengan emaknya. Untuk mencukupi kebutuhan keluarga sehari-hari Emak bekerja serabutan. Kadang ada tetangga yang menyuruh mencuci atau membantu-bantu pekerjaan di dapur. Kadang ada juga yang menyuruh bekerja di Sawah atau Kebun.
“Asep ... Asep... Bangun!” Emak membangunkan Asep. Sudah beberapa kali Emak membangunkan Asep sejak sebelum Subuh tadi, tapi Asep belum juga bangun.
“Sep... Kasep ayo bangun sayang!” dengan telaten dan sabar Emak kembali  membangunkan Asep dengan masih memakai mukena setelah salat subuh. Tapi yang dibangunkan malah menarik kembali selimutnya.

Sambil masak menyiapkan sarapan Emak bulak-balik membangunkan Asep yang tadi menarik kembali selimutnya. Dengan sabar Emak memanggil-manggil Asep supaya bangun dan Salat Subuh.
“Ayo bangun sayang sudah siang ayo Salat Subuh dulu.” Emak masih membujuk Asep.
“Berisik ah aku masih ngantuk.” Asep malah menutup telinganya dengan bantal.
“Astagfirullah, Ayo nak Kasep bangun dulu Salat Subuh dulu.” Emak masih sabar membangunkan Asep.
“Ah berisik.” jawab Asep sambil melempar selimutnya dengan kasar lalu pergi ke kamar mandi.
“Astagfirullahaladzim.”Emak istigfar sambil mengurut dada. Kemudian membereskan tempat tidur Asep yang berantakan.
888
Asep dan teman-temannya sedang nongkrong sambil makan jajanan di Gajebo dekat Kantin sekolah.
“Maaf Kak,  numpang lewat.” Kata seorang gadis cantik sambil sedikit membungkukkan badannya.

Asep melongo melihat gadis cantik kulitnya bersih dengan senyum yang menawan bukannya menggeser kakinya yang menghalangi jalan.
“Hai sadar!” kata Ardi sambil mengusap muka Asep yang masih bengong melongo melihat pemandangan yang menakjubkan. Jantungnya berdegub keras, hatinya berdebar-debar salah tingkah dibuatnya.
“Eh si... Silahkan....” Kata Asep terbata suaranya hilang, tenggorokannya terasa kering, sambil menggeser kakinya yang menghalangi jalan.
“Siapa anak tadi perasaan aku baru ketemu?” tanya Asep pada teman-temannya.
“La iyalah kamu ngak pernah ketemu, kamu kan masuk siang, dan pulang sebelum waktunya.” Kata Ardi meledek Asep. Dikatakan seperti itu Asep nyengir kuda dia mengakui kelemahannya.

Tadinya Asep ingin banyak bertanya pada teman-temannya mengenai gadis itu. Tapi Asep gengsi, Asep khawatir bukannya mendapat jawaban malah ia jadi bahan ejekan teman-temannya.

Baru juga melangkah ke kelas untuk mencari tahu informasi mengenai gadis tadi. Bel dengan nyaring berbunyi menandakan waktu istirahat telah usai. Dan sampai waktunya pulang sekolah Asep tidak bertemu lagi dengan gadis tadi. Serta belum mendapatkan informasi apapun mengenai gadis tadi.

Malam ini Asep susah tidur dia teringat kejadian siang tadi. Cantik sekali gadis tadi, senyumnya sangat memesona, lesung pipit kecil di dekat bibirnya mempermanis senyumnya. “Aku harus mencari tahu siapa dia dan dimana rumahnya.” pikir Asep dalam hati. Asep gelisah ingin segera pagi dan ingin segera tahu siapa gadis tadi.

Tak seperti biasanya pagi ini Asep sudah berada di sekolah, pakaiannya rapi, rambutnya masih basah sisa-sisa mandi tadi, wajahnya cerah senyum selalu tersungging dibibirnya. Teman-temannya heran dengan keberadaan Asep pagi-pagi seperti ini.
“Wai ada angin apa pagi-pagi sudah ada di Sekolah? sudah insaf nih ceritanya? ” Andri meledek Asep temannya, heran dengan keberadaannya pagi ini. Asep hanya nyengir kuda diledek temannya. Asep tak menghiraukan perkataan temannya Asep langsung ke kelas menyimpan tas dan mengeluarkan zuz amma untuk mengikuti tadarusan bersama di halaman sekolah.

Pak Agus memberi pengumumam agar anak-anak kumpul di Halaman Sekolah. Anak-anak mulai membaca surat-surat pendek dalam Zuz Amma, dilanjutkan dengan tausiah yang diberikan oleh Pak Agus Romdhani.

“Anak-anak jika kalian ingin diridhoi oleh Allah, maka kalian terlebih dahulu harus berada dalam ridho orang tua. Seorang anak wajib berusaha membuat orang tuanya rido terhadap apa yang dilakukannya. Sama halnya anak juga wajib mencari rido Allah.”

“Dan seorang anak hendaklah berbuat baik pada kedua orang tuanya yakni dengan berbakti, mengasihi, dan lemah lembut pada keduanya. Jangan sekali- kali berkata “Ah” atau membangkang terhadap kedua orang tua. Hendaknya seorang anak merendahkan diri terhadap orang tuanya, berkata sopan dan hidmat. Dan selalu mendoakan keduanya supaya Allah menyayangi orang tua kita seperti halnya mereka menyayangimu diwaktu kecil”.

Demikianlah tausiah yang diberikan Pak Agus yang dapat ditangkap oleh Asep. Asep tertunduk dan matanya berkaca-kaca tapi buru-buru dilap oleh lengan bajunya. Selama berada di sekolah Asep lebih banyak diam tak banyak bicara. Dia lupa pada niatnya tadi pagi berangkat mau ketemu gadis cantik yang kemarin menyapanya.

Sepulang sekolah Asep mendapati Emaknya baru selesai salat duhur. Emak masih memakai mukena dan duduk berdoa. Tak menunggu lama Asep langsung sujud dihadapan Emaknya memohon maaf dan ampunan sambil terisak.
“Maafkan Asep Mak, Asep telah durhaka pada Emak, telah berkata kasar dan tak pernah mendengarkan nasihat Emak, mulai sekarang Asep akan menuruti segala nasehat Emak dan akan sekolah dengan giat dan jujur.” Kata Asep disela-sela isak tangisnya.
“Iya Emak maafkan, yang lalu biarlah berlalu, ayo kita perbaiki kedepannya.” Jawab Emak sambil menciumi kepala Asep dan membelai rambut dan punggung Asep. Emak mengangkat badan Asep dan memeluknya dengan penuh kasih sayang.

Sekian.
ooooooooooooooooooOOOoooooooooooooooooo

Jumat, 27 September 2019

Gajah dan Ayam Jantan





GAJAH DAN AYAM JANTAN


            Warna kuning keemasan semburat jingga di cakrawala. Mentari mulai lelah ingin kembali keperaduannya. Seperti halnya burung-burung yang beterbangan menempuh perjalanan panjang hari itu. Ingin kembali ke sarang setelah kenyang mencari makan melintas di langit bersih.
           
Senja itu  Ayam Jantan berjalan berkokok sambil mengais-ngaiskan kakinya ke tanah mencari biji-bijian. Setelah menemukannya lalu dipatuk dengan paruhnya lalu berkokok.
“Ku ku kuruk... ku ku kuruyuk.....!!!” Ayam Jantan berkokok.
“Hus jangan berisik ah” tegur gajah yang dari tadi berjalan beriringan.
“Ku ku kuruyuk...ku ku kuruyuk...!!!” Ayam Jantan lebih berisik lagi.
“Hus apa sih yang ingin kamu katakan?” tanya gajah pada Ayam Jantan.
“Aku ingin bertanding denganmu” tantang Ayam pada Gajah.
“Bertanding apa” tanya gajah lagi belum mengerti.
“Maksudnya siapa diantara kita yang makannya lebih banyak? Kamu atau Aku?” Kata Ayam memperjelas keinginannya.
“Tentu saja aku,” sahut Gajah sambil membuat suara gaduh dan mengibas-ngibaskan belalainya.
“Aku memang tidak bisa bisa makan lebih banyak jika dibandingkan denganmu, Gajah. Tetapi aku bisa mematuk dengan cepat.”
“Baiklah, besok kita bertanding di Padang dekat sungai. Disana banyak rumput dan tumbuhan padi-padian.”kata Gajah sambil menunjuk tempat yang dimaksud dengan belalainya.

Untuk menentukan pemenang mereka minta bantuan hewan lain, seperti harimau, kijang, jerapah, kera, kancil dan sebagainya. Pertandingan itu akan dilaksanakan besok pagi. Setelah matahari terbit.
Gajah dan Ayam Jantan mempersiapkan diri untuk pertandingan besok pagi. Semalaman Gajah dan Ayam Jantan tidak bisa tidur. Malam terasa lambat. Lama kelamaan ahkirnya mereka pun tidut.

Gajah terbangun ketika mendengar kokok ayam dari kejauhan. Dengan angkuh Ayam Jantan berjalan sambil mengingatkan gajah.
“Saatnya kita bertanding, kawan,” kata Ayam Jantan mengingatkan dengan angkuhnya.
“Ya aku mengerti!” jawab Gajah sambil pergi beriringan menuju padang yang ada di dekat sungai.
Harimau membuka acara memberitahukan maksud mereka berkumpul di Padang tersebut. “Kawan-kawan, kita berkumpul di sini untuk menyaksikan pertandingan antara Gajah dan Ayam Jantan. Kitalah yang menentukan siapa diantara mereka yang dapat makan lebih banyak.” kata Harimau.
“Ya kami siap,” hewan lain menanggapi dengan serempak.
“Gajah dan Ayam Jantan juga sudah siap?” tanya Harimau.
Gajah dan Ayam mengangguk.
“Baiklah mari kita mulai, satu, ...dua,....tiga....” Harimau memberi aba-aba.
Gajah dan Ayam Jantan mulai makan. Mereka makan sebanyak-banyaknya hingga kekenyangan.
“Aduh perutku sakit kekenyangan, rasanya seperti mau meletus.” kata Gajah mengeluh. Dia merebahkan tubuhnya lalu tertidur. 


Sementara Ayam Jantan masih terus mematuk-matuk biji-bijian dengan cepat sekali. Sesekali berkokok membuat hewan-hewan lain tidak senang. Sebab Ayam Jantan itu terlihat begitu sombong.
“Hai kamu jangan sombong Ayam Jantan.” kata ular mengingatkan. tapi tidak dipedulikan oleh Ayam Jantan.


Ketika hari sudah sore Gajah baru terbangun dari tidurnya. Gajah mencoba makan lagi tapi perutnya masih terasa sakit.
“Oh aku tidak bisa melanjutkan perlombaan ini perutku sakit sekali.” kata Gajah menyerah. Sambil memandang teman-teman binatang lainnya yang sedang menyaksikan perlombaan itu.

Ayam Jantan berteriak kegirangan. “Horee... aku yang keluar sebagai pemenangnya. Akulah yang paling luar biasa di hutan ini.” kata Ayam Jantan bangga. Ayam Jantan mengepak-ngepakkan sayapnya lalu berkokok. kembali mematuk-matuk biji-bijian.

Binatang lain sudah melarangnya untuk tidak mematuk-matuk lagi biji-bijian tapi tidak dipedulikan oleh Ayam Jantan. Ayam Jantan seperti kesulitan bernapas, tenggorokannya seperti ada yang menyumbat. Seketika mukanya menjadi merah.
“Tolong aku “Kata ayam Jantan dengan kesakitan yang menderanya. 

Hewan lain segera mendekat memberi pertolongan. Ayam Jantan keburu tersungkur ke tanah, berkelejoran sesaat, lalu kehabisan napas dan tersungkur mati.



Pesan moral yang disampaikan. Janganlah sombong akibatnya mencelakakan diri sendiri. Dan dalam segala sesuatu jangan berlebihan. Orang yang berlebihan kadang melakukan sesuatu yang tidak masukakal dan diluar batas kemampuan.

Gempa Bumi








GEMPA BUMI
Nyi Heni


Raisa dan teman-temannya baru saja selesai salat Asar berjamaah. Biasanya mereka jajan makanan ringan sambil bermain di halaman sekolah. Hari ini ternyata hujan turun rintik-rintik anak-anak tidak terlalu berkeliaran di halaman. Mereka berkumpul sebagian ada yang di kelas ada juga yang di emperan kelas yang terlindung dari air hujan. Ada pula yang masih di depan Masjid, mereka merasa malas jajan malah berlari-larian sambil bercanda.

“Fan kita main bekel yu” Raisa mengajak Fani bermain.
“Ayo, ayo mana bekelnya?” Fani antusias diajak main oleh Raisa. Raisha mengambil bekel di tas sekolahnya. Sedangkan Fani menggeser kursi supaya tempat untuk mereka main agak luas. Fani memilih tempat di pojokan menghadap ke tembok supaya bila bolanya jatuh tidak terlalu jauh mengambilnya sebab terhalang tembok.

Setelah Raisa dan Fani duduk dibawah, Fani menyimpan bekel dan bolanya dilantai lalu mereka melakukan suit.
“Ayo suit dulu” Ajak Raisa.
“Satu, dua, tiga.” Raisa mengomando. Tangan Fani dan Raisa turun berbarengan. Raisa memasang ibu jari, sedangkan Fani jari telunjuk.
“Wah aku main duluan” kata Raisa setelah tahu dia yang menang sambil mengambil bekel. Sedangkan Fani menunggu dan memperhatikan Raisa bermain.

Ketika mereka sedang asyik bermain tiba-tiba bumi bergoyang asalnya pelan lama-lama makin kuat. Teman-teman mereka berlarian keluar sampai menumpuk di pintu sambil membaca tahlil. Melihat pintu penuh Raisa menarik tangan Fani mereka tidak lari keluar, mereka jongkok di pojok dan menarik meja sehingga posisinya berada dibawah meja.

Mereka berpegangan sambil membaca surat-surat pendek yang mereka hapal dan kalimat-kalimat toyyibah. Tangannya bergetar, jantungnya berdebar, mereka berpegangan erat saling menguatkan. Pigura hiasan dinding  yang dipajang berjatuhan ada juga beberapa yang jatuh ke meja di atas kepala mereka. Fani semakin takut tangannya terasa dingin dipegang Raisa kepala Fani beradu dengan kepala Raisa mereka memejamkan mata tidak berani melihat apa yang terjadi.

Ketika terdengan diluar sudah banyak yang ngobrol dan ada yang memanggil-manggil nama mereka.
“Fani, Raisa, Fani, Raisa” Ustad Ramdhan memanggil.
“Ya Ustaz kami di sini.” jawab Raisa mencoba menjawab. Ustaz  Romdhan mendekati mereka.
“Ayo keluar keadaan sudah aman” Ustaz Romdhan menyuruh mereka keluar dari bawah meja. Setelah keluar dari bawah meja Ustaz Ramdhan memeluk keduanya dan membimbingnya keluar kelas.

Sesampainya di luar Fani dan Raisha disambut Ustazah Qori didudukan di kursi yang kosong dan diberi minum. Setelah minum dan istirahat sesaat  barulah Raisha sadar bagaimana keadaan adiknya. 
"Gib, Gibran" Raisa berteriak memanggil adiknya. 
"Ya aku di sini" Jawab Gibran sambil menyerahkan tas kakaknya yang tadi diberikan oleh Ustaz Romdhan padanya. 
"Oh syukurlah." Raisa duduk kembali sambil mengusap dada lalu menerima tas yang diberikan adiknya dan menggendongnya. 

Raisha baru sadar lalu mengarahkan pandangannya ke sekitar, ternyata banyak teman-temannya yang terluka lecet karena berdesakan dan terjatuh saat keluar gedung. Semuanya sudah dibersihkan dan diobati. Ada genting gedung Madrasah yang jatuh dan berantakan dibawah. Ada tembok kamar mandi Masjid yang retak besar. Warung Mang Udin penjual mie ayam ambruk. Barang dagangan Teh Mimin yang berantakan di bawah dan banyak lagi akibat gempa. 

Tak berapa lama setelah kejadian gempa banyak orang tua yang datang dan menjemput anaknya. Tak berapa lama berserang Abi pun muncul menjemputnya. 

ooooooooooooooooooOOOooooooooooooooooo

Kamis, 26 September 2019

Tantangan Pekan 3







Resensi Buku Novel ‘Kerudung Merah Tuathina’

Judul                          : Kerudung Merah Tuathina
Jenis                            : Novel Romance
Pengarang                  : Momisa Q
Penerbit                      : PT Gramedia Pustaka Utama
Diterbitkan                : Jalan Palmerah Barat 29-33 Jakarta 10270
Tahun Terbit             : 2014
Tebal Halaman          : 242

Sinopsis
“Demi mencapai cita-cita aku berjuang mengerahkan segenap kemampuan. Orang menyebutku sosialita karena nama besar kekuasaan dan harta milik ayahku. Tapi tahukah mereka bahwa semua itu tak ada artinya. Semua pencapaianku kuperoleh dengan dengan kerja keras”

_ Aisha Laetitia Setyo_

Perempuan yang kucintai menikah dengan sahabatku sendiri. Wajar kalau aku ingin menghabiskan musim panas dengan bersenang-senang. Melakukan aktivitas di luar ruangan yang memacu adrenaline. Tapi bagaimana bisa, aku harus menemani si Nona Besar Sosialita kemana-mana?

                        _ Zues Arach_

Aisha dan Zues dua orang yang memendam luka masa silam dengan jenis yang berbeda. Ketika keelokan alam Tuathina menyatukan mereka, cintakah yang akan bersemi? atau mereka akan terjebak saling menyakiti?


Aisha Laetitia Setyo adalah seorang jurnalis dan fotografer handal, namun namanya dalam profesi sebagai jurnalis dan fotografer kalah besar namanya sebagai anak dari Pendi Setyo pemilik perusaan bidang jurnalis yang sudah mendunia. Dia lebih terkenal sebagai sosialita sehingga banyak yang meremehkan profesinya. Termasuk Zues laki-laki jangkung berambut ikal itu dengan sombong menganggap Aisha si Nona anak bos yang merengek minta dikirim ke Tuathina untuk berwisata.


Penggambaran latar yang detail membawa si pembaca seakan menikmati suasana yang indah memesona Tuathina. Zues lelaki tampan penuh pesona yang sombong tapi melindungi dan terkadang mati gaya membuat kesal pembaca. Aisha walau badannya kecil tapi cukup kuat dan mandiri sehingga tidak mudah menyerah pada keadaan yang menghimpitnya. Kebersamaan mereka yang diikat oleh pekerjaan, walaupun dibumbui dengan perdebatan-perdebatan sengit membuat penasaran pembaca untuk terus mengikutinya.

Untuk penikmat tulisan buku ini layak menjadi koleksi melengkapi perpustakaan pribadi maupun umum. Buku ini sebaiknya dibaca oleh orang dewasa. Ada beberapa tulisan yang kurang pas dibaca oleh remaja apalagi anak-anak.


Sekian semoga berkenan


ooooooooooooooooooooOOOooooooooooooooooooooooo

Selasa, 24 September 2019

Main Sodah



MAIN SONDAH

Jam 13.00 WIB Raisa baru pulang Sekolah Madrasah Ibtidaiyah dekat rumahnya. Perjalanan dari Sekolah ke rumah tidak  terlalu jauh  sekitar 10 menit berjalan kaki sudah sampai. 
“Assalamualaikum” Raisa mengucap salam tak lupa cium tangan Abinya.
“Waalaikum salam” Jawab Abinya yang berada di warung depan rumahnya.

Raisa mengambil minum kerongkongannya sudah kering kehausan. Lalu mengambil nasi dan lauk pauknya sisa sarapan tadi pagi yang disediakan Uminya, tanpa mengganti dulu pakaiannya. Sambil menonton TV Raisa makan siang dengan lahap ditemani adik keduanya Ulva yang baru sekolah TK. Sesekali adiknya disuapi karena mau makan juga. Dengan telaten Raisa menyuapi adiknya sementara Uminya belum pulang karena ada jadwal ngajar sampai sore. Tak lama adik pertamanya yang laki-laki bernama Gibran baru datang. Sebenarnya pulang sekolahnya lebih dahulu karena Gibran baru kelas 5 Madrasah Ibtidaiyah.
“Dari mana dulu Teteh lihat tadi bubarnya duluan kelas lima” Tanya Raisa menyelidiki.
“Dari rumah teman ngambil jambu air.” jawab Gibran sambil meletakkan tasnya lalu mengeluarkan plastik hitam yang berisi jambu air.

Raisa membawa jambu air ke dapur dan memcucinya setelah selesai makan dan menyuapi adiknya. Jambu yang sudah dicuci disimpan di baskom lengkap dengan kecap dan garam di piring kecil. Masih didepan TV Raisa dan Ulva berlanjut makan jambu air sementara Gibran makan nasi dulu.

Tak banyak Raisa memakan jambu airnya hanya beberapa butir saja. Lalu Raisa mandi dan wudu dilanjut berpakaian dan salat duhur bersiap-siap mau berangkat Sekolah Diniyah.
“Gib, ayo cepet mandi sudah siang siap-siap berangkat.” Raisa mengingatkan.
“Iya-iya,” agak bermalas-malasan Gibran beranjak juga menyelesaikan makan jambunya tadi berlanjut tanpa menyimpan piring nasinya, sambil membawa piring kotor dan  mengambil handuk, mandi, berpakaian dan salat duhur.

“Teteh, Aa, sudah siap?” Abinya mengecek setelah menutup warungnya.
“Gibran tuh masih salat duhur.” jawab Raisa sambil memakaikan kerudung pada adik perempuannya Ulva.
“Oh...Abi salat dulu ya” kata Abi senang putra-putrinya sudah bersiap untuk pergi ke Madrasah Diniyah.

Setelah semuanya siap dan mengunci pintu mereka berangkat di motor, Ulva duduk di tengah dipegang oleh Raisa sementara Gibran duduk di depan berpegangan pada spion memperhatikan Abinya mengemudikan motornya.

Sekitar perjalanan 10 menit  bermotor kedua kakak beradik tersebut turun di Madrasah Diniyah. Kelas mereka beda sekelas, Raisa Kelas 6 sama dengan di MI nya juga sementara Gibran kelas 5 juga sama dengan di MI. Teman-teman baru beberpa orang saja yang datang.

Setelah menurunkan kedua anaknya Abi melanjutkan perjalanan mau menjemput Umi, jadwal pulangnya sekitar pukul 15.00 WIB biasanya tak lama setelah Abi datang ke sekolah Umi, paling menunggu beberapa menit Uminya keluar dari kelas.

Kembali ke Raisa di Madrasah Diniyah.
“Hai Raisa, Assalamualaikum” Hani menyambut kedatangan Raisa sambil mengankat tangan kanannya mengajak tor-tosan.
“Waalaikum salam” Sambut Raisa sambil membalas tangan Hani.
“Rai! kita main sondah yu, aku sudah menggambar sondahnya tadi dan sudah minta izin pula sama Ustaz Ramzi untuk menggambar sondah di Halaman Madrasah.” jelas Hani dengan semangat.
“Hayu sebentar ya aku simpan tas dulu.” sambut Raisa antusias.

Ketika mereka sudah berada didepan sondah, Fani datang setengah berlari melihat kedua temannya mau bermain.
“Aku ikutan dong main.” pintanya pada kedua kemannya setengah memohon.
“Emang bisa mainnya?” tanya Hani meragukan mengingat Fani bukan asli orang Sunda dia pindahan dari Lampung pada awal tahun ajaran baru kemarin.
“Ya ajarinlah oleh kalian please” pinta Fani sambil merapatkan kedua telapak tangannya memohon untuk diajak main.
“Ya sudah, sekarang kamu mencari dulu genting bekas kurang lebih seukuran koin, Hani bantu Fani mencari genting, dan tas kamu sini biar aku yang menyimpan ke meja” kata Raisa mengatur teman-temannya.

Setelah berkumpul Raisa menjelaskan cara bermain Sondah.
“Kalau disini disebutnya bermain sondah tapi ada juga yang menyebut permainan taplak. Permainan ini dapat dilakukan oleh laki-laki atau perempuan bisa juga campuran. Biasanya dimainkan minimal oleh dua orang tetapi tidak lebih dari empat orang. Alat yang dipakai selain gambar sondah berupa garis-garis dibuat dilantai atau tanah berupa kotak-kotak, juga gundu atau gaco sebuah batu pipih tapi kalau aku lebih memilih genting bekas yang dibentuk sedemian rupa seukuran koin, sehingga terasa nyaman untuk dilemparkan ke kotak sondah seperti ini” jelas Raisa pada Fani sambil menunjukan genting yang dipegannya, lalu memberikannya satu pada Fani.

“Permainan ini banyak macamnya ada sondah bulan, sondah bintang, sondah silang dan sondah geser” Raisa melanjutkan penjelasannya.
“Nah yang akan kita mainkan adalah sondah bintang” lanjut Raisa sambil menunjukkan gambar sondah yang telah dibuat Hani.

“Cara mainnya gundu atau gaco diletakkan pada kotak pertama, setelah pemain melakukan suit untuk menentukan siapa yang main pertama, kedua dan seterusnya. Pemain yang mendapat giliran pertama masuk dalam kotak sambil mengangkat kakinya sebelah, lalu berjalan searah jarum jam menapaki kotak-kotak yang digambar. Bila sampai pada kotak tengah kedua kaki bisa diturunkan untuk sitirahat setelah tadi melangkah dengan kaki sebelah. Lalu melanjutkan melangkah lagi dengan kaki sebelah dan mengambil gundu atau gaco yang tadi disimpan di kotak pertama. begitu seterusnya sampai sampai gundu atau gaco sampai di kotak terakhir.” Raisa menjelaskan cara bermainnya sondah.

“Apabila kaki menginjak garis atau kaki turun dua-duanya bukan di kotak tengah, atau gaco/gundu tidak masuk pada kotak maka giliran temannya yang bermain. Siapa yang gaco/gundunya sampai lebih dulu pada kotak akhir maka dia punya kesempatan untuk memilih kotak yang bisa ditapaki kedua kaki tanpa permainan beralih pada temannya. Bila sudah sampai kotak akhir pemain memilih kotak dengan cara melemparkan gundu atau gaco dengan membelakangi dan gundu dilempar melewati kepala. Bila gundu atau gaco itu masuk pada kotak itu, maka kotak itu menjadi hak pemain dan lawannya tidak boleh menginjaknya lagi.” Raisa menjelaskan aturan main dan cara bermainnya yang ditanggapi Fani dengan antusias.

Lalu mereka pun melakukan permainan itu sampai bel masuk sekolah berbunyi. Karena belum puas mereka pun melanjutkannya pada waktu istirahat setelah selesai salat asar berjamaah ditambah Lani yang mau ikut bermain. Mereka lupa untuk jajan yang biasa mereka lakukan pada waktu istirahat. Mereka tertawa kadang-kadang berselisih jika diantara mereka ada yang berlaku curang.

Permainan mereka menjadi tontonan teman-temannya. Ada juga sebelah kiri anak-laki-laki mengikuti membuat permainan serupa. Anak-anak seakan dibagi dua kelompk menjadi kelompok laki-laki dan kelompok perempuan. Berkerumun ada yang sambil duduk memegang jajanannya ada juga yang berdiri tak mau ketinggalan memperhatikan temannya bermain.  Mereka tampak bahagia bersorak sorai memberi tepukan pada pemain yang menang, kadang terlihat kecewa jika pemain jagoannya ternyata gundu atau gaconya meleset.

Sekian

ooooooooooooooooOOOoooooooooooooooo


Si Lurik Kehilangan



SI LURIK KEHILANGAN

Cerita dari lagu “Tek kotek kotek”

Si Lurik bergembira, telurnya sepuluh ekor menetas semua. Kecil-kecil bulunya bagus ada yang putih, yang merah, dan ada juga yang lurik. Anak-anak si lurik berlari kian kemari meniru induknya yang mengais tanah mencari cacing. Kalau ada cacing bergerak berebutlah anak ayam mematuk cacing berlari, bembira dan bernyanyi. Cit...cit...cit... cit ...cit.

Lurik pun bernyanyi gembira karena anak-anaknya lincah, lucu dan sehat semua. (Tek kotek kotek, anak aku ada sepuluh, semuanya ada sepuluh, semuanya gemuk-gemuk).
Anak-anaknya berlarian mendapatkan induknya sambil bernyanyi, (Cit, cit, cit, cit, perut kami sudah kenyang, makan cacing banyak sekali).

Suatu pagi lurik mengembangkan sayapnya dan mengaiskan kakinya ke belakang dan ke depan. Anak-anak berkumpul bernaung dibawah tubuh induknya. Lurik mulai memberikan pelajaran tentang jenis makanan yang enak.

“Anak-anak kali ini engkau akan ku carikan makanan yang enak. Besok lusa bila kau sudah besar harus mencari makan sendiri. Jika kamu menggunakan kakimu untuk mengais tanah, tancapkan kakimu ke tanah, jika ada yang bergerak cepat tangkap dengan paruhmu. Makanlah sekenyang-kenyangnya, yang pertama bangun dialah yang makan cacing pertama kali, bangunlah pagi-pagi, udara pagi sehat untuk tubuh.”

Seminggu kemudian lurik memberikan pelajaran baru tentang makanan enak yaitu jagung muda. Warnanya putih atau kuning, bentuknya bulat tersimpan rapi, berbaris-baris rasanya manis sekali, isaplah airnya baru kamu telan. 

Pembicaraan lurik dan anak-anaknya didengar musang. Musang mengintai anak-anak ayam sejak lama. Musang bersembunyi di semak-semak menunggu anak-anak ayam itu mendekatinya.

Anak ayam berlari bercerai berai mencari makanan yang diceritakan induknya. Anak ayam datang mendekati tempat musang, musang menyeringai memperlihatkan giginya yang berjajar rapi dan putih.
“Hore hore kita dapat, kita dapat,” teriak anak-anak ayam bersorak gembira menemukan yang dicarinya.

“Anak-anak yang manis, benar ini jangung untukmu disana masih banyak kalian tidak perlu mencari ditempat yang jauh, tapi dengan syarat tidak boleh diceritakan pada induk kalian, kalau induk kalian tahu maka akan dimakannya sampai habis dan kalian tidak mendapatkannya” bujuk musang mengelabui anak-anak ayam.

“Kalian lihat pintunya sangan sempit jadi kalian jangan berebut masuk, kalian boleh menginap satu orang satu hari dan kalian bisa makan sepuasnya.” kata musang sambil membuka mulutnya ternganga.

“Nah sekarang siapa yang ingin lebih dulu masuk?” tanya musang pada anak-anak ayam.
“Aku yang paling besar yang sulung” Kata anak ayam yang paling besar.
“Baiklah, pada saat pintu terbuka kamu masuk, bila pintu tertutup kamu berteriak keras cit, cit, cit sebagai tanda aku harus mengunci pintu.” musang memberi penjelasan pada anak-anak ayam.

Musang membuka mulutnya  lalu masuk anak ayam dan berbunyi cit, cit, cit kemudian musang menutup lagi mulutnya.

“Nah anak-anak untuk sekarang selesai pelajaran hari ini sekarang pulanglah tapi ingat jangan sampai tahu induk kalian.” musang memberikan perintah.

Anak ayam yang kesembilan sudah kembali pada induknya. Lurik merasa kehilangan dan bertanya pada anak-anaknya.
“Dimana satu lagi”
“Sedang makan jagung”
“Dimana”.
“Di gudang”

Sampai sore hari anaknya tidak pulang, lurik menangis.
Tek kotek kotek kotek
Anak aku ada sepuluh
Mati satu  tinggal sembilan


Begitulah terjadi selama sepuluh hari. Lurik termenung dan sedih anaknya tak satu pun tersisa, lurik menangis.
Tek kotek kotek
Anak aku ada sepuluh
Tek kotek kotek
tiap hari hilanglah satu
Tek kotek kotek
Anak aku habis semua
Tek kotek kotek
Siapakah itu pencurinya


Tiba-tiba dibalik semak terdengar suara
Tek kotek kotek
Anak ayam kumakan habis
Tek kotek kotek
sekarang tinggal induknya

 Mendengar suara itu si lurik lari sambil berkotek minta tolong. Kini lurik tahu siapa yang mencuri anak-anaknya ternyata seekor musang.

Nah demikianlah cerita tentang anak ayam yang ada nyanyiannya tadi. Nilai moralnya anak-anak harus nurut pada orang tua sebab orang tua sangat sayang pada anak-anaknya. Orang tua tidak mau kehilangan anak-anaknya.

ooooooooooooooOOOooooooooooooooo

BIG WHY BLOGGER

    Bercerita tentang ngeblog banyak alasan yang masing-masing pribadi menulis blog. Berbagai latar belakang dan tujuan yang menggerakkan ...