AKU
CINTA INDONESIA
“Aku
duduk di bawah pohon yang rindang. Di sebuah bukit yang tinggi. Dengan rasa
bangga aku menatap sejauh mata memandang. Sebuah danau dengan air yang
berkilau. Pesawahan menghampar bak permadani hijau. Dan tepat di bawah ku tanah
lapang yang luas. Tempat kami bermain layangan, bermain bola, bermain kastik
dan lebih sering bermain kejar-kejaran, berpesta pora dengan lumpur dikala
hujan. Semuanya indah dan berkesan. Itulah Tanah Airku ...” begitulah tulisan
yang kubaca pada sebuah buku tua berwarna hitam. Tulisan dari tinta yang mulai
memudar. Dengan kertas yang mulai menguning. Kutemukan buku itu kala aku
mencari peta lama di lemari buku koleksi kakek.
“Yah,
tulisan siapa ini?” Tanyaku pada ayah yang sedang mengerjakan sesuatu di meja
kerjanya itu.
“Coba
lihat.” Pinta Ayah sambil mengulurkan tangannya meminta buku itu padaku.
“Oh
itu punya kakek pada waktu masih muda dulu.” Jawab Ayah setelah melihat-lihat
buku yang kuberikan.
“Apa maksud dari tulisan ini, Yah?” tanyaku penasaran.
Ayah
mulai bercerita “Ehmmm, dulu Kakek pernah bercerita pada Ayah. Anak-anak Indonesia yang hidup pada masa penjajahan Belanda
dahulu jauh berbeda dengan anak-anak sekarang. Pada zaman Penjajahan Belanda
terasa sangat sulit. Jangankan mau sekolah mau pakai sepatu saja susahnya
setengah mati.”
“Tapi
Kakek sekolah, bukan?”tanyaku menyela.
“Yah
Kakek mu sekolah, karena buyutmu seorang wedana jadi anaknya bisa sekolah. Hanya
anak-anak dari orang yang berpangkat diizinkan bersekolah.”
“Lalu
apa maksud tulisan Kakek pada buku ini?” tanyaku.
“Kata
Kakek dulu, Kakek hanya berani menulis di buku harian saja. Karena Kakek buyut
seorang wedana dan digaji oleh Belanda. Penjajah melarang anak-anak Indonesia
mencintai Indonesia ini. Ayah bersyukur dilahirkan setelah merdeka. Jadi bisa
sekolah dengan tenang. Kamu juga harus bersyukur karena hidup di negara
merdeka. Kita harus berterima kasih pada para pahlawan yang telah gugur merebut
kemerdekaan.” Cerita Ayah.
“Bersyukur
disini bukan saja memuji Tuhan, tetapi juga mengisi kemerdekaan ini dengan
membangun bangsa dan negara agar lebih maju.” Ayah melanjutkan ceritanya.
“Terus
apa yang harus aku lakukan, Yah?” tanyaku.
“Belajarlah
dengan giat. Itu salah satu cara bersyukur. Dengan belajar, kelak kamu akan
turut menegakkan dan mengisi kemerdekaan.” jelas Ayah.
“Aku
bersumpah, Ayah!” kataku sambil membusungkan dada. Lalu kunyanyikan lagu Indonesia
Raya di depan Ayah. Kubacakan teks Sumpah Pemuda. Kuucapkan pula sila-sila
dalam Pancasila, biar ayah percaya kalau aku sudah hapal Pancasila.
“Aku
ingin mencintai tanah air ini sampai titik darah penghabisan. Seperti yang
pernah Kakek berikan kepada bangsa dan negara tercinta ini.” Kataku
selanjutnya.
Ayah
menepuk bahuku sambil berkata, ”Tidurlah sayang, besok jangan sampai kesiangan,
Ayah bangga padamu sudah belajar mencintai negara kita Indonesia.”
Aku
pun beranjak meninggalkan ayah yang melanjutkan pekerjaannya.
Sekian
oooooOOOooooo
Mohon masukannya
BalasHapus