Minggu, 27 Oktober 2019

Aku Cinta Indonesia



AKU CINTA INDONESIA

“Aku duduk di bawah pohon yang rindang. Di sebuah bukit yang tinggi. Dengan rasa bangga aku menatap sejauh mata memandang. Sebuah danau dengan air yang berkilau. Pesawahan menghampar bak permadani hijau. Dan tepat di bawah ku tanah lapang yang luas. Tempat kami bermain layangan, bermain bola, bermain kastik dan lebih sering bermain kejar-kejaran, berpesta pora dengan lumpur dikala hujan. Semuanya indah dan berkesan. Itulah Tanah Airku ...” begitulah tulisan yang kubaca pada sebuah buku tua berwarna hitam. Tulisan dari tinta yang mulai memudar. Dengan kertas yang mulai menguning. Kutemukan buku itu kala aku mencari peta lama di lemari buku koleksi kakek.

“Yah, tulisan siapa ini?” Tanyaku pada ayah yang sedang mengerjakan sesuatu di meja kerjanya itu.

“Coba lihat.” Pinta Ayah sambil mengulurkan tangannya meminta buku itu padaku.

“Oh itu punya kakek pada waktu masih muda dulu.” Jawab Ayah setelah melihat-lihat buku yang kuberikan.

“Apa maksud dari tulisan ini, Yah?” tanyaku penasaran.

Ayah mulai bercerita “Ehmmm, dulu Kakek pernah bercerita pada Ayah. Anak-anak Indonesia yang hidup pada masa penjajahan Belanda dahulu jauh berbeda dengan anak-anak sekarang. Pada zaman Penjajahan Belanda terasa sangat sulit. Jangankan mau sekolah mau pakai sepatu saja susahnya setengah mati.”

“Tapi Kakek sekolah, bukan?”tanyaku menyela.

“Yah Kakek mu sekolah, karena buyutmu seorang wedana jadi anaknya bisa sekolah. Hanya anak-anak dari orang yang berpangkat diizinkan bersekolah.”

“Lalu apa maksud tulisan Kakek pada buku ini?” tanyaku.

“Kata Kakek dulu, Kakek hanya berani menulis di buku harian saja. Karena Kakek buyut seorang wedana dan digaji oleh Belanda. Penjajah melarang anak-anak Indonesia mencintai Indonesia ini. Ayah bersyukur dilahirkan setelah merdeka. Jadi bisa sekolah dengan tenang. Kamu juga harus bersyukur karena hidup di negara merdeka. Kita harus berterima kasih pada para pahlawan yang telah gugur merebut kemerdekaan.” Cerita Ayah.

“Bersyukur disini bukan saja memuji Tuhan, tetapi juga mengisi kemerdekaan ini dengan membangun bangsa dan negara agar lebih maju.” Ayah melanjutkan ceritanya.

“Terus apa yang harus aku lakukan, Yah?” tanyaku.

“Belajarlah dengan giat. Itu salah satu cara bersyukur. Dengan belajar, kelak kamu akan turut menegakkan dan mengisi kemerdekaan.” jelas Ayah.

“Aku bersumpah, Ayah!” kataku sambil membusungkan dada. Lalu kunyanyikan lagu Indonesia Raya di depan Ayah. Kubacakan teks Sumpah Pemuda. Kuucapkan pula sila-sila dalam Pancasila, biar ayah percaya kalau aku sudah hapal Pancasila.

“Aku ingin mencintai tanah air ini sampai titik darah penghabisan. Seperti yang pernah Kakek berikan kepada bangsa dan negara tercinta ini.” Kataku selanjutnya.

Ayah menepuk bahuku sambil berkata, ”Tidurlah sayang, besok jangan sampai kesiangan, Ayah bangga padamu sudah belajar mencintai negara kita Indonesia.”

Aku pun beranjak meninggalkan ayah yang melanjutkan pekerjaannya.

Sekian


oooooOOOooooo

1 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...