Sabtu, 03 April 2021

Bab 3 Tempat Terindah


 

Bab 3 Tempat Terindah

 

Hera sedang menatap televisi melihat berita kecelakaan helikopter didekat rumahnya. Air matanya tak henti terus mengalir dengan deras. Bibirnya terus menerus melapalkan doa-doa yang dapat diingatnya. Kecelakaan helikopter yang menyebabkan neneknya pergi untuk selama-lamanya. Ingatannya kembali pada mama dan papa serta kakeknya yang sudah tiada. Dan sekarang neneknya keluarga satu-satunya yang ia punya pun kini meninggalkannya.

 

Tok tok tok

Suara ketukan di pintu, tak lama pintu dibuka dari luar diiringi suara salam dari yang mengetuk pintu.

“Assalamualaikum” sesosok wanita paruh baya muncul dibalik pintu. Dengan gamis hitam polos dan kerudung putih menjuntai juga snelli melengkapi identitasnya sebagai dokter. Meletakkan body bag yang dibawanya di sopa, lalu mendekati Hera dan memeluknya.

“Waalaikum salam, Bu dokter...” Suara Hera tertahan ditenggorokan, tangisnya kembali pecah. Air mata kembali membuncah membasahi snelli dokter Alisya Zaisyal Saputra yang mendekapnya.

“Sabar, tenang dan tante percaya kamu bisa tabah melewati ini semua. Allah tidak akan memberikan cobaan pada seseorang melewati batas kemampuannya. Pasti ada maksud Allah yang terbaik untuk kamu kedepannya. Kita hanya menjalaninya, Allah yang menentukan skenario untuk mahluknya.”

Dokter Alisya menasehati sambil mengusap punggung Alisya. Isaknya perlahan mereda, air matanya berhenti mengalir. Dekapannya mulai mengendur. Dokter Alisya mendongakkan wajah Hera, menatapnya lekat, lalu menghapus sisa air mata dengan telapak tangannya. Menangkuk kedua pipi Hera lalu mencium keningnya lama.

“Tenang masih ada tante dan om, Kami tidak akan membiarkan hidupmu sendiri. Jadi jangan sungkan anggap tante dan om seperti mama dan papa mu oke.” dengan suara lembut dan senyum mengembang dokter Alisya menenangkan Hera.

Dokter Alisya adalah istri dokter Zaisyal. Mereka sahabat papa dan mama Hera. Sewaktu di Jakarta mereka saling mengunjungi. Setelah Hera pindah ke Sukabumi mengikuti kakek dan nenek dari ibunya, mereka mulai jarang berkomunikasi.

Walau sudah beberapa kali diingatkan untuk menyapanya dengan sebutan om dan tante. Hera tidak ingin mengubah sapannya. Dokter adalah sapaan kebanggannya sejak kecil. Oleh karena nya Hera selalu menyapa suami istri ini dengan sebutan dokter dimana pun berada.

“Di luar banyak wartawan yang mencari sosok penyelamat penumpang helikopter, apakah kau siap diwawancarai?” dokter Alisya bertanya pada Hera.

“Apa dok? wartawan? jangan, jangan, jangan kasih tahu siapa pun, aku tak mau jadi sorotan, apalagi diwawancarai wartawan. Aku tak mau dikejar-kejar wartawan.” Hera panik mendengar banyak wartawan yang mau mewawancarainya.

“Hai apa kau tak mau jadi terkenal dengan super hero yang kau lakukan heh.” dokter Alisya menggoda Hera dengan senyum manisnya.

“Nggak, aku risi bila menjadi pusat perhatian. Aku tak mau orang-orang memperlakukanku luar biasa, padahal yang aku lakukan biasa saja. Hanya kebetulan saja aku yang pertama disana. Aku menolong bukan ingin terkenal. Dan aku pun tak dapat menolong lagi orang yang satunya. ” raut muka Hera kembali sendu mengingat kembali waktu kejadian dan dia merasa menyesal tak sempat menolong pilot helikopter itu.

“Sudah, sudah jangan bersedih lagi. Kalau kau tak mau bertemu para wartawan berarti kau harus menyamar. Kita ke sana setelah yang lainnya bubar. Biar Om Zaisyal nanti yang memberi keterangan. Nah, sekarang kau bersiaplah ganti bajumu, itu tante sudah bawakan mudah-mudahan cocok untukmu.” dokter Alisya menunjuk bady bag yang tadi dibawanya.

“Sekarang tante ke om dulu mengatur semuanya. Setelah selesai kau susul tante ke depan ya!” dokter Alisya keluar kamar rawat Hera. Sedangkan Hera mengambil body bag lalu pergi ke kamar mandi untuk ganti baju.

Setelah para pelayat meninggalkan tempat pemakaman, Hera ditemani dokter Alisya mendekati makam keluarga itu. Memang pemakaman itu pemakaman keluarga hanya ada empat makan disitu. Yaitu makam papa dan mama Hera dan sekarang neneknya yang berdampingan dengan makam kakeknya.

Hera bersimpuh di tanah yang merah dan masih basah itu, memegang nisan yang belum bernama,  menahan isak yang sesak didada, menahan air bening yang menggenang dikelopak mata agar tak tumpah mengenai tanah.

Lututnya bersimpuh menahan berat badannya yang luruh. Bahunya bergetar menahan derita yang menimpa. Bibirnya berbicara menumpahkan rasa yang ada. Disela-sela doa yang dipanjatkan.

“Mah, Pah, Kakek juga Nenek, kalian berkumpul di sini, meninggalkan Hera seorang diri. Allah menyayangi kalian sehingga kalian dapat berkumpul di Surga. Meninggalkan Hera yang tidak tahu apa yang harus Hera lakukan kedepannya. Hera harus berjuang sendiri tidak ada papa yang melindungi, tidak ada mama yang sangat menyayangi, tak ada kakek yang selalu mengayomi dan sekarang nenek pun menyusul kalian, tak ada lagi sosok yang selalu menasehati.” Hera mengusap air matanya agar tak jatuh ke tanah. Menahan isaknya yang terasa sesak menghantam dadanya. Mata sembabnya membengkak akibat terus menerus berurai air mata.

Kedua tangannya diangkat seraya memanjat doa untuk kedua orang tuanya juga kakek dan neneknya.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu, waakrim nuzulahu wawasi’madkholahu, waghsilhu bil maai watstsalji wal barod, wanaqqihi min khotooya kamaa yunaqqotstsaubul abyadhu minadanas, wa abdilhu daaron khoiron min daarihi, wa ahlan khoiron min ahlihi, wa zaujan khoiron min zaujihi waqqihi fitnatal qobri, wa ‘adzabannar

Artinya: "Wahai Allah, ampunilah dia, kasianilah dia, sejahterakanlah dia dan ampunilah segala dosa dan kesalahannya, hormatilah/mulyakanlah kedatangannya, luaskanlah tempat tinggalnya dan bersihkanlah ia dengan air, salju dan embun. Bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari segala kotoran, gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari yang terdahulu, dan gantikanlah baginya ahli keluarga yang lebih baik dari pada ahli keluarga yang terdahulu dan peliharalah (hindarkanlah) ia dari siksa kubur dan azab neraka."


Setelah menutup doa dengan Aamiin dan surat Al Fatihah. Hera dibantu dokter Alisya kembali berdiri, perlahan meninggalkan tempat pemakaman. Digandeng dokter Alisya Hera berjalan mendekati bekas rumahnya yang tinggal puing-puing. Tempat tidur dan meja yang biasa dipakainya untuk belajar, musnah terbakar berikut dokumen dan laptop kesayangannya. Begitu juga gawai yang kemarin masih dipakainya, hilang entah kemana.

Hera memindai seiap inci reruntuhan rumahnya, merekam dalam ingatannya. Menyimpan rapi segenap cinta keluarganya. Menata ulang rasa dalam jiwanya. Mencoba tabah menerima semuanya. Menekankan keyakinan dalam dirinya, bahwa ia mampu melewati semuanya.

Hera mencoba berdiri tegar, menjalani semuanya dengan sabar. Tanpa menyalahkan orang lain. Tidak juga menuntut keadilan pada Tuhannya. Hera mencoba menjalani semuanya dengan ikhlas. Menerima semuanya dengan tawakal. Dan menanam keyakinan dalam hatinya inilah yang terbaik untuknya dan didepan ada kebahagiaan yang akan ditemuinya. 

Hera dengan perlahan tapi pasti, kembali meninggalkan tempat kenangan terindah sekaligus yang terpahit dalam hidupnya. Kembali ke rumah sakit tempat dirinya dirawat.

#KMP4diarpus

#KMP2021

#abadidalamfiksi

#NyiHeni

#OneDayOnePost

 


1 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...