THR
TIDAK
HARUS REBUTAN
Aku sekeluarga sedang berkumpul nonton televisi sambil menunggu waktu salat Isya. Ayah masuk ke kamarnya tapi tak lama keluar lagi. Ditangannya memegang amplop putih sepertinya berisi uang.
“Bun,
ini ada titipan dari Kantor Ayah” Katanya sambil menyerahkan amplop yang
dibawanya.
“Apa
Yah, THR bukan?” Tanya Bunda menatap Ayah menunggu jawaban.
“Yah,
buat keluarga katanya.” Jawab Ayah.
“Alhamdulillah,
semoga berkah.” Ucap Kami serempak tak tertinggal juga Adik.
“Kenapa
mau beli baju?” Kata Ayah mengalihkan pandangannya padaku dan mengusap puncak
kepalaku.
“Ngak
ah Yah baju yang kemarin hadiah ulang tahun dari Nenek juga belum di pakai.
Habis kompakan sih, Tante beliin baju, Nenek beliin baju, eehhh Mama juga beli
baju lagi. Coba kalau uangnya yang dikasih kan bisa Kakak tabung.” Jawabku
sedikit menggerutu.
“Tapi
Aku senang sih dapat hadiah, bersyukur dapat rezeki walau rezekinya belum bisa
bermanfaat. “ Sambungku lagi.
“Memangnya
kenapa nggak dipakai? kurang suka
modelnya atau kekecilan, jadi nggak bisa dipakai.” Tanya Ayah lagi.
“Bukan begitu, modelnya bagus Aku suka
malah, ukurannya pas lagi, terus mau dipakai kemana? Kan selama ini Kita nggak
kemana-mana. Masa dipakai tidur atau dipakai sehari-hari di rumah? Kan sayang.”
Kataku lagi.
“He he he iya yah selama Pandemi Covid
19 ini kita tak kemana-mana. Kalian cuma di rumah saja. Hanya Ayah saja yang
selalu pergi. Tapi Ayah malah rindu mau diam saja di rumah. Bersih-bersih
sekiran rumah.” Ayah terkekeh menyadari kekeliruannya.
“Kalau Adik mau beli baju baru?” Tanya
Ayah kepada Adik.
“Adik mah terserah Bunda saja, mau beli
atau nggak terserah Bunda.” Jawab Adik cuek.
Ayah melirik Bunda mencari jawaban pada
Bunda.
“He he he Bunda tersenyum, anak
laki-laki Ayah, memang laki-laki banget. Mau pake baju baru mau nggak kayaknya
nggak mau tahu urusan.” Kata Bunda sambil tersenyum melihat kelakuan anak
laki-lakinya yang bergeming nonton stand up komedi.
“Untung Bundanya telaten, selalu tahu
apa kepentingan keluarga dan mana yang harus jadi perioritas.” Puji Ayah pada
Bunda sambil mengusap kepala Bunda. Bunda pun tersipu mendengar pujian Ayah
yang menatapnya lembut.
Aku berjalan pindah ke kursi yang
ditempati Ayah dan Bunda lalu duduk diantara keduanya. Memutus keromantisan
keduanya dan menyandarkan kepalaku dibahu Ayah. Ayah bergeser dan mengenakkan
duduknya, mengelus-elus kepalaku yang bersandar dibahunya.
“Bunda mending uang THR nya ditabung
saja, buat sekolah Kakak dan Adik, siapa tahu nanti Kakak kuliah ke luar
negeri, biayanya pasti mahal.” Usulku pada Bunda.
“Amiin.” Serempak Ayah dan Bunda
mengaminkan keinginanku.
“Kuliah kan masih lama beberapa tahun
kedepan lagi.” Jawab Ayah.
“THR kan singkatanya Tunjangan Hari
Raya, berarti kita memanfaatkannya untuk Hari Raya.” Kata Bunda sambil
tersenyum.
“Ya nggak juga sih, Kalau pada hari raya
kita poya-poya, makan banyak tapi tak bermanfaat, akhirnya berujung di rumah
sakit kan kita juga yang repot. Atau dengan alasan untuk hari raya kita memakai
uang yang menjadi tanggung jawab kita membeli pakaian dan lain sebagainya.
Selesai hari raya kita kebingungan menggantinya dari mana, kan kita juga yang
pusing.” Kata Ayah menjelaskan.
“Belikanlah pakaian anak-anakmu yang
biasa saja, begitu pun dengan makannanya, yang penting memenuhi gizi sesuai
kebutuhannya. Pakaian yang mewah tidak akan menaikkan derajat anakmu menjadi
apa-apa. Dan pakaian yang sederhana pun tidak akan menjadikan anakmu terhina.” Tambahku.
“Biasakan anak-anakmu hidup sederhana,
agar dia punya pengalaman bagaimana hidup susah. Sehingga dia bisa bersyukur
terhadap setiap rezeki yang diterimanya. Dan ajarkan pada mereka untuk berbagi,
sehingga jika kelak mereka punya rezeki berlebih, mereka pun terbiasa untuk
memperhatikan orang yang belum beruntung.” Kataku menirukan gaya bicara nenek.
“Heh Kakak kok suka nguping pembicaraan
orang tua ya?” Sambil mengarahkan mukaku kehadapannya.
“Heh Ayah lupa ya, bagaimana aku nggak
nguping coba, wong Nenek bilangnya dihadapan semua orang.” Aku memonyongkan
mulutku tidak suka dicap anak penguping pembicaraan orang tua.
“Iya yah, tapi kenapa Kakak hapal betul
apa yang dikatakan Nenek?” Tanya Ayah lagi.
“Yah Ayah sih sudah tua pikirannya
kemana-mana. Jadi Nenek ngomong gitu sekarang, besok lupa lagi. Pantesan saja
hampir setiap ketemu Nenek ngomongnya itu lagi, itu lagi, coba bagaimana Kakak
nggak hapal.” Jawabku sambil cemberut.
“Heh iya yah Ayah sudah tua kayanya,
jadi sering lupa apa yang dikatakan Nenek. Untung ada cucu nenek yang bisa
ngingetin Ayah pada nasehatnya. Maafkan Ayah yang telah menuduh Kakak suka
menguping.” Jawab Ayah sambil menciumi kepalaku yang masih berada di dadanya.
“Terus apalagi yang dikatakan Nenek?”
Tanya Ayah lagi seakan menguji ingatanku pada pembicaraan Nenek.
“Jika kamu punya rezeki tabunglah
sebanyak-banyaknya. Jangan hanya dipakai untuk membeli barang-barang yang
kurang bermanfaat. Kita tidak tahu ada cobaan apa didepan, tapi pendidikan
anakmu tidak boleh berhenti.” Lanjutku
“Kamu akan merasa sakit hati, ketika
anakmu mendapatkan prestasi yang bagus, terus pendidikannya harus berhenti
hanya gara-gara kamu tidak punya tabungan untuk membiayainya. Itu sama saja
dengan tidak menghargai jerih payah anakmu yang sudah susah payah belajar. Cucu
Nenek harus berpendidikan tinggi, berpengalaman luas, baik laki-laki maupun
perempuan.” Kataku meniru gaya nenek kalau sedang menasehati.
“He he he pantesan putri Ayah pinter
bicaranya, ternyata gaulnya sama nenek-nenek.” Kata Ayah sambil menahan tawa
dan menjauh dari jangkauanku.
“Eh apa maksudnya, memang Aku kaya
nenek-nenek cerewet gitu?” Kataku memelototkan mataku menahan marah pada Ayah.
“Tuh sadar”Kata Ayah sambil tertawa dan menjauh
dariku.
“Ayaaaahhhh” Aku berlari mengejar Ayah
dan mencubit tangannya.
“Ampun, ampun, ampun” Kata Ayah sambil
terus tertawa.
Sedangkan Bunda hanya tersenyum
menyaksikan interaksi putri dan Ayahnya yang sangat jarang bercanda.
#KMP4diarpus
#KMP2021
#abadidalamfiksi
#NyiHeni
#THR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar