JODOHKU
DI DIARPUS
Aku
baru saja duduk sambil membaca buku di ruangan pertemuan gedung Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Sukabumi tempat diadakannya kelas menulis. Ruangan yang
sejuk ber AC dan kedap suara itu ruangan satu-satunya tempat diadakannya
berbagai pelatihan. Tak lama ada yang mengetuk pintu dan sesosok wajah putih
dengan pakaian rapi tapi santai muncul dibalik pintu.
“Assalamualaikum.”
Siempunya wajah mengucap salam sambil menyodorkan kedua tangan mengajak
bersalaman.
“Waalaikum salam.” Aku menjawab
salam sambil menerima ajakan bersalaman, tapi tanganku tak bersentuhan, sambil
tersenyum dan mengangguk.
“Ikut pelatihan juga?”
tanyanya mengawali percakapan.
“Iya” jawabku singkat
mengalihkan pandangan dari buku bacaan menatap wajahnya.
“Dug ach” dadaku
berdegub kencang ketika tatapanku bertemu pandang. Secepatnya kualihkan
pandangan kembali ke buku bacaan. Tapi konsentrasiku sudah tidak pokus lagi ke
bacaan. Untuk mengurangi getaran-getaran tak karuan dihati ku buka-buka buku
bacaanku.
“Tok...tok..tok...Assalamualaikum”
muncul lagi seorang laki-laki yang datang dengan kaos dan celana jins masuk dan
bersalaman, aku menerimanya tanpa menyentuh tangannya. Tapi hatiku tak seperti
yang tadi dengan yang ini biasa saja tak ada rasa apa-apa aneh.
Satu
demi satu bermunculan yang akan ikut pelatihan menulis yang sebelumnya sudah
daftar melalui media whatsApp. Dan akhirnya sekitar pukul 10.00. WIB pelatihan
pun dimulai. Dengan riang dan renyah Bu Nani membuka pelatihan dan mengemukakan
tujuan pelatihan. “Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan mengadakan berbagai palatihan bertujuan mendekatkan program
perpustakaan pada masyarakat umum tidak hanya anak sekolah dan mahasisiwa saja.
Tidak hanya sekedar membaca dan meminjam buku, tapi manfaatnya agar lebih besar
lagi bagi masyarakat umum. Dan juga agar manfaat Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan lebih dirasakan oleh masyarakat secara luas. Setelah pelatihan
diharapkan menghasilkan satu produk yang dapat diberikan ke Dinas Kearsipan dan
Perpustakaan sebagai pertanggungjawaban terhadap program yang digulirkan untuk
masyarakat.” Demikian sekelumit pembicaraan Bu Nani yang dapat ku simak.
Setelah
itu dilanjutkan dengan perkenalan dengan menyebutkan nama dan asal tempat
tinggal. Walaupun dalam grup WA sudah melakukan perkenalan dengan cara unik
yakni dengan menyebutkan nama dan asal tempat tinggal dalam bentuk cerita menggunakan
kata kunci sendal jepit, patromak
dan kucing.
“Oh Abdul Halim.”
Gumamku dalam hati sambil sesekali mencuri pandang. Ketika giliran laki-laki
yang membuat hatiku berdebar berbicara.
“Baiklah teman-teman
dan juga adik-adik, karena disini masih ada yang masih sekolah di SMP jadi
materinya diambil dari yang paling mudah bla...bla...bla....” Bu Mutia
menjelaskan dengan panjang lebar sehingga peserta mengerti apa yang harus
dilakukan sampai tiba waktunya istirahat salat.
Setelah
istirahat salat materi dilanjutkan lagi hingga selesai dan pulang.
“Pulangnya ke mana”
tiba-tiba Abdul sudah ada dibelakangku dan bertanya.
“Ke Salabintana”
jawabku singkat sambil terus berjalan dan Abdul Halim mengejar sehingga kami
berjalan berdampingan menuju angkutan perkotaan. Tak lama angkotnya datang aku
langsung naik.
“Duluan ya” pamitku
pada Abdul dan langsung naik angkot.
“Nanti aku japri ya.”
Abdul Halim setengah berbisik tapi masih aku dengar. Aku tak menjawab terus
saja naik angkot dan duduk hingga sampai di Pesantren.
Setelah
berbuka dengan air putih dan kurma, para santriwati salat magrib lalu kembali
makan hingga waktu salat Isya tiba. Kumandang azan menggema dari menara masjid
menggetarkan jiwa-jiwa yang khusu untuk menyerahkan diri pada yang hakiki. Para
santriwati kembali bersiap mengambil air wudu, selesai azan dan membaca doa
setelah azan ada sebagian santriwati melaksanakan salat qobla Isya sambil
menunggu imam memulai salat berjamaah.
Jam
di kamarku menunjukakan pukul 22.00 WIB ketika perlahan mau merebahkan tubuh
yang mulai letih setelah seharian beraktivitas. Notifikasi di gawai berbunyi “Jangan-jangan dari dia”
harap-harap cemasku. Aku tak terlalu berharap banyak aku tak ingin menunjukkan
ketertarikanku padanya aku tak ingin kecewa nantinya. Tapi dihati yang paling
dalam ada harapan dan keinginan dia menjadi jodohku. Ku buka gawaiku dan
ternyata ada WhatsApp dari dia. Isinya
Boleh
kenalan lebih jauh?
(Tidak
boleh sebelum ada izin dari orang tua) jawabku pura-pura
ketus.
Ada
yang marah nggak kalau aku wapri kamu?
(Ada,
orang tuaku dan ustadhah di tempat aku mondok pasti marah} masih
dengan ketus
Boleh
nggak kalau aku jadi pacarmu
(Tidak
boleh pacaran kecuali kalau sudah jadi suami istri) jawabku
masih ketus
Kalau
begitu mau nggak kamu menjadi istriku?
(Jangan
bertanya padaku kalau serius mintalah pada orang tuaku di Pesantren Annidzom
Salabintana maaf Assalamualaikum) jawabku menutup
WhatsApp malam itu.
Aku
tak bisa tidur malam itu takut benar-benar dia datang meminta pada orang tuaku
dan orang tua tidak setuju. Juga takut hatiku sudah berharap tapi dia hanya
main-main saja. Setelah beberapa lama kantukku tak kembali malah kegelisahan
yang mendera dalam dada. Bulak-balik guling yang ku dekap malah terasa panas,
ku paksakan menutup mata sambil membaca doa dan ayat-ayat Al quran yang kuhapal
dalam hati, masih juga tidak membawa mata ini terlelap dalam mimpi.
Ku
lirik jam di dinding menunjukkan pukul 02.00
pagi dari pada terus-menerus dalam kegelisan. Akhirnya ku geser guling yang
kudekap dari tadi, kusingkapkan selimut yang tadi membungkus tubuh ini,
kulangkahkan kakiku mengambil wudu, ku tundukkan semua ego dalam diri ini
disujud salat tahajud, ku tumpahkan semua kegelisahan dan kehawatiran hatiku dalam
jeritan doa, ku titipkan harapan dan keinginan yang terdapat dalam lubuk hati
yang paling dalam pada malaikat-malaikat yang berjaga diwaktu malam. Dan tak
terasa ku tersungkur dalam lelap di atas sajadah dengan masih mengenakan
mukena.
Sore
itu awan putih dilangit bersih, sinar mentari masih mendominasi cakrawala,
warna keemasan diufuk barat menambah indah lukisan Sang Maha Pencipta. Seperti
Biasa jadwal hari Jumat sore aku membimbing para santriwati untuk membaca selawat. Ketika sedang membaca selawat ada santriwati masuk dan memberi kabar ada
tamu yang ingin bertemu. Aku tak bertanya siapa,
karena sudah sering tamu yang datang biasanya orang tua atau saudara santriwati
yang menanyakan kabar atau menitipkan keperluan santriwati asuhanku.
Dug...
jantungku berhenti sejenak, darahku seakan berhenti mengalir sesaat, ketika
kulihat Kang Abdul ada diantara tamu yang duduk di ruang tamu. Aku tak bisa
menghindar atau untuk sekedar berbenah diri, karena semua pandangan sudah
mengarah dan menanti kedatanganku. Ku salami semua tamu yang hadir, lalu duduk
dikursi kosong yang sengaja disediakan untukku.
“Nak Abdul betul Marisa
yang ini yang kamu maksud, yang kamu pinta untuk menjadi istrimu?” tanya ustaz
melanjutkan pembicaraan setelah tadi terpotong dengan kehadiranku.
“I..iya ustaz” jawab
Abdul sambil menganggukkan kepala.
“Nah Neng Marisa, Abdul
dan orang tuanya sudah berbicara banyak pada Abi, intinya kedua orang tua Abdul
memintamu untuk dijadikan istri, bagaimana kamu siap?” tanya Abi padaku.
Aku tak dapat menjawab
mulutku seakan terkunci, tenggorokanku seakan kering tak dapat mengeluarkan
suara. Kepalaku tertunduk malu, tak kuasa aku mengangkat kepala sedikitpun,
seakan dibebani puluhan karung beras di pundakku. Samar ku dengar Abi
menyimpulkan diamnya wanita yang dilamar menandakkan jawaban iya.
Pembicaraan-pembicaraan
selanjutnya aku sudah tak dapat menyimak. Namun kesimpulan besar yang akan
merubah hidupku dan mudah-mudahan ini terjadi hanya sekali dalam hidupku.
Sehari setelah Idul Fitri Kang Abdul dan keluarganya akan datang kembali untuk
secara resmi melamarku dan seminggu setelahnya akan diadakan akad nikah.
Setelah selesai berbuka
dan salat magrib dilanjukan salat Isya dan tarawih Abdul Halim dan keluarganya
berpamitan. Diantar oleh Abi dan Umi sampai pintu gerbang Pesantren. Aku kembali
membimbing santriwati memberikan materi tajwid.
Mohon masukannya
BalasHapusSaya malah belum pandai buat cerita bu ... 😁💪💪👍
BalasHapusSemangat Kak, 😄👍
BalasHapusTerima kasih
HapusTerima kasih
BalasHapusCara bernarasinya hampir mirip almarhum Hamsad Rangkuti. Menarik untuk ditelaah.
BalasHapusApik
BalasHapus