Sabtu, 14 September 2019

Tantangan Pekan I


TANTANGAN PEKAN 1

Pagi-pagi sekali aku sudah berangkat sekolah. Tiba di sekolah baru beberapa orang saja yang datang termasuk aku. Kusimpan tas di rak bangku dan aku mulai merapihkan meja kursi yang kemarin siang telah di sapu oleh tim piket. Karena hari ini giliran aku piket jadi aku berangkat lebih pagi dari biasanya. Setelah bangkunya diturunkan semua, lalu aku sapu mejanya dengan kamoceng. Tidak seperti biasanya teman-teman piket ku hari tidak datang pagi, setelah selesai piket baru mereka  datang dan tidak langsung masuk kelas malah pada nongkrong ngobrol di depan kantin.

“Hai bukannya piket malah nongkrong di sini.” Tayaku pada Zulpa. Bukannya minta maaf Zulfa malah pergi begitu saja tanpa menghiraukan teguranku. 

          Aku beranjak mendekati Ihsan yang juga masih duduk santai di depan kelas.
“Kenapa datangnya siang sih, aku piket sendirian, cape tahu!” kataku pada Ihsan.
“Emang gue pikirin” jawab Ihsan sambil berlalu meninggalkanku yang melongo mendengar jawaban Ihsan. (ini anak tak biasanya seperti ini ada apa ya)  pikirku tak mengerti.

            Aku masuk ke dalam mengambil buku tabungan, di kelas ada Zira kusapa dia.
“Zi, antar ke kantor yu mau nabung.” Pintaku pada Zira. Tapi Zira tidak menanggapi dia cuek saja seakan tak mendengar ajakanku. Akhirnya aku ke kantor sendiri dan memberikan buku tabunganku pada Bu Rini.

            Mulai dari jam pertama masuk sampai istirahat semua teman-teman tidak mempedulikan aku tak mengerti apa kesalahanku. Aku mulai tak betah di kelas semua teman-teman tidak ada yang menyapaku dan yang aku sapa tak ada yang menjawab. Aku pindah ke barisan bangku paling belakang yang biasa oleh teman laki-laki. Eeehhhh teman-teman malah pindah menjauh dari kursiku.
            
         Pada jam pelajaran terakhir aku duduk dipojok sendirian karena teman-teman menjauh. Pak Rudi guru olah raga yang killer mulai masuk jam terakhir. Setelah mengabsen dan mau memulai pelajaran beliau bertanya padaku karena melihat aku melamun.
“Hai kamu mengapa duduk di pojok sendiri? Itu barisan bangku untuk laki-laki.” Tanya Pak Rudi padaku.
“Eeeehhhhh...”. Belum sempat aku menemukan kata-kata untuk menjawab Pak Rudi sudah menyuruhku untuk ke depan.
“Hai hayo kamu ke depan!” perintahnya padaku dengan garang. Aku takut dan ingin menangis dengan gemetar aku ke depan.

“Kamu meresa punya salah nggak?” tanya Pak Rudi lagi.
Aku berpikir dan mengingat-ngingat kembali apa salahku, tapi tak aku ingat telah berbuat salah, aku mengingat lagi barangkali terlewat, tapi tetap tak merasa.

“Ayo jawab merasa nggak kamu punya salah” Pak Rudi bertanya lagi.
“Tidak Pak saya tidak merasa salah apa pun dan pada siapa pun.” Jawabku sambil terbata-bata suaraku tersendat dikerongkongan. Air mata tak dapat dibendung lagi mengalir dengan deras.
“Kamu mau tahu apa salahmu.” tanya Pak Rudi lagi. Aku bukannya menjawab malah semakin keras tangisanku.

“Salah kamu adalah kamu tak mengingat tanggal lahir mu.” Kata Pak Rudi. Diiringi nyanyian “Selamat Ulang Tahun” oleh teman-teman sekelas sambil membawa kue. Aku belum sadar dengan apa yang terjadi kagetku belum hilang aku disuruh berdoa dan tiup lilin lalu digiring ke luar. 

         Di halaman sekolah aku dikejutkan lagi tak menyangka kalau teman-teman sudah menyiapkan air yang disembunyikan. Mereka menyiramku dengan air yang dibawa dengan ember kecil, ada yang pakai botol plastik bekas minuman bahkan ada juga yang pakai gelas plastik bekas yang mereka temukan.

       Badan dan bajuku basah kuyup, aku tak bisa menghindar dari mereka. Mereka keroyokan tadinya ada yang mau pakai telur tapi di larang oleh Bu Nita “Jangan berlebihan mubazir.”Katanya.
Aku baru mengerti pantas saja teman-teman sekelas pada jutek, mereka sekongkol mengerjai aku sejak pagi. Aku juga tak marah pada teman-teman, tangisku kini tangis bahagia ternyata teman-teman perhatian padaku dan mengingat ulang tahunku padahal aku sendiri tak sadar dengan tanggal kehadiranku.

         Aku senyum-senyum sendiri mengingat kejadian di sekolah tadi siang. Walau aku harus malu memakai baju basah pulang sekolah mana macet lagi. Tapi untung Rio merelakan jaketnya untuk aku pakai pulang jadi tidak terlalu kedinginan. Mencium bau parfun dari jaket Rio aku jadi  membayangkan Rio yang memeluk tubuhku dengan lembut dan hangat. Terima kasih teman kalian is the best. 

2 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...