Jumat, 13 September 2019

LAMARAN


LAMARAN

           
Hari ini hari Minggu biasanya setelah salat subuh aku agak santai tidak langsung bertempur di dapur. Berbeda dengan hari ini sebelum subuh aku sudah bangun dan berjibaku di dapur mempersiapkan sarapan pagi. Mencuci piring bekas semalam dan membereskan ruangan yang berantakan.

Setelah salat subuh Gunawan adikku yang laki-laki datang, karena kemarin sore dipesan oleh ku untuk menunggu ibu di rumah berhubung aku mau berangkat pagi-pagi ke Banten. Sebelum yang biasa menunggu ibu datang pukul 6.30 WIB. Setelah salat subuh dan sarapan aku dan bapak berangkat.

Aku berangkat dengan bapak dan nanti di Cikembar ada Pak Opi dan Istrinya teman yang juga ikut menemani lamaran, sedangkan Iman dan teman-temannya berangkat di mobil yang berbeda. Kami janjian di Mesjid Agung Pelabuhan, setelah itu baru berangkat bersama karena kami tidak ada yang tahu alamat lengkapnya.

Perjalanan yang berliku dan sempit kanan kiri jurang yang dalam. Mobil yang kami tumpangi terus melaju ke atas kadang-kadang berpapasan dengan mobil lain yang juga mau lewat. Seakan mau tabrakan membuat jantung kami berdebar-debat.

Setelah sampai atas kami istirahat dulu sejenak, kami semuanya turun dari mobil. Membuka perbekalan yang aku bawa karena perjalanan yang panjang membuat kami lapar.  Bapak yang mengemudi mobil menekuk-nekuk lututnya lalu berselonjor di rumput yang sebelunnya sudah dialasi tikar plastik yang kebetulan ada di bagasi mobil.

Udara yang sejuk, pemandangan yang luas sepuas mata memandang, indah mempesona. Hamparan sawah yang luas sejauh mata memandang. Di batasi dengan gunung yang menjulang, semilir angin yang sejuk membelai kerudung yang menjuntai.

Sambil makan lepet yang kemarin aku buat dan goreng tempe yang tadi subuh aku goreng. Kami berkumpul memegang makanannya sendiri-sendiri sambil berkengkrama bertanya-tanya pada Iman mengenai daerahnya dan ciri khas daerahnya. Iman yang pada waktu itu sebagai calon pengantin menjadi petunjuk arah dan nara sumber yang andal mengenai daerahnya.

Setelah penat lewat dan pegal kembali segar, kami pun melanjutkan perjalanan yang kata Iman  baru seperempat perjalanan.  Jalan yang berliku dan pemandangan yang indah menghibur kami menikmati perjalanan ini.

Bakda dhuhur kami baru tiba di lokasi. Sejuk dan nyaman dengan udara yang segar. Di depan rumah terhampar sawah membentang, suara air yang jatuh dari pancuran menjadi musik yang menyejukkan. Ikan besar yang warna-warni menggelitik tangan ingin memancing. Pohon mangga yang menjuntai melambai-lambai seakan meminta untuk dipetik.

Kami langsung disambut oleh kakek nenek Intan yang sudah menunggu dari tadi. Selama diperjalanan pun  Intan beberapa kali menelpon menanyakan posisi. Aku menyerahkan bawaan sebagai oleh-oleh alakadarnya pada pribumi.
“Ayo masuk-masuk” pinta kakek Intan mempersilahkan kami masuk setibanya di depan rumah.
“Terima kasih Pak” jawabku sambil bersalaman dengan kakek dan nenek Intan.
Sesampainya di ruang tamu, sudah digelar karpet dan tikar memenuhi seluruh ruang tamu. Di atasnya sudah terhidang nasi merah lengkap dengan lauk pauknya. Ada juga nasi putih di wadah yang lain Kue-kue tradional seperti kue ali, ranginang, kue lapis, bugis terhidang berjajar di piring. Ada juga buah mangga yang menggoda apalagi setelah penat berada lama dalam mobil, menarik untuk dicicipi.
“Ayo Pak, Bu, anak-anak dicicipi kuenya.” Nenek Intan mempersilahkan supaya makanan yang terhidang untuk di makan.
“Sekalian makan dulu sudah dingin ini dari tadi terhidang, ayo Pak, Bu, anak-anak cape diperjalanan sebelum salat makan dulu” nenek Intan dengan ramah mempersilahkan.

Tanpa menunggu dipersilahkan lagi Aku menyiduk nasi pada piring yang sudah tersedia, diberikan pada orang yang dekat sampai semuanya kebagian dan makan. Untuk sesaat semua sibuk dengan makanannya masing-masing. 

Yang sudah selesai sambil mencuci tangan langsung melaksanakan salat asar digabung dengan salat duhur karena tadi tidak menemukan masjid di pinggir jalan. Setelah semuanya selesai salat, baru menuju ke rumah ayahnya Intan yang tidak terlalu jauh dari rumah kakeknya. Kami berjalan kaki menuju rumah ayahnya Intan yang masuk gang.

Rumah yang sederhana dengan pelataran tanah yang bersih disebelah kanan ada sawah yang masih hijau dengan tanaman padinya. Sebelah kiri ada pohon pisang dan ketela pohon yang kurang subur karena sudah lama tidak turun hujan. Sedangkan di depan terbentang jalan yang biasa dilalui warga yang mau bepergian dan hanya bisa dilalui motor.

Di buka oleh Pak Opi yang dari tadi satu mobil dengan istrinya dan aku. Acara lamaran pun di mulai. Bapak yang mewakili keluarga Iman mengemukakan maksudnya untuk melamar Intan untuk dinikahkan dengan Iman. Ayah intan tidak bisa menjawab suaranya serak tidak keluar, badannya bergetar menahan tangis, air matanya tak bisa dibendung lagi keluar meleleh membasahi pipinya. Air matanya dihapus dengan tangannya setelah agak reda dengan terbata-bata ayah Intan menyerahkan kepada kakeknya untuk menjawab lamaran bapak.

Dengan menahan haru kakek Intan pun menerima lamaran bapak, lalu berunding dengan kesepakatan semuanya direncanakan bulan Desember akan dilaksanakan akan nikah dan resepsinya bertempat di Cibadak.

Aku yang mewakili ibu Iman menyerahkan cincin yang dibawa Iman sebagai tanda ikatan sudah lamaran. Aku membuka dan memakaikan cincin itu pada jari manis Intan yang lembut dan putih diawali dengan baca bismillah. Disusul nenek Intan yang memakaikan cincin pada jari manis Iman dilanjutkan dengan sesi foto-foto.

Setelah selesai acara kami dengan rombongan kembali pulang dengan dibekali oleh-oleh ciri khas Banten oleh kakek nenek Intan.

5 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...