LAMARAN

Setelah
salat subuh Gunawan adikku yang laki-laki datang, karena kemarin sore dipesan
oleh ku untuk menunggu ibu di rumah berhubung aku mau berangkat pagi-pagi ke
Banten. Sebelum yang biasa menunggu ibu datang pukul 6.30 WIB. Setelah salat
subuh dan sarapan aku dan bapak berangkat.
Aku
berangkat dengan bapak dan nanti di Cikembar ada Pak Opi dan Istrinya teman yang juga ikut menemani
lamaran, sedangkan Iman dan teman-temannya berangkat di mobil yang berbeda. Kami
janjian di Mesjid Agung Pelabuhan, setelah itu baru berangkat bersama karena
kami tidak ada yang tahu alamat lengkapnya.
Perjalanan
yang berliku dan sempit kanan kiri jurang yang dalam. Mobil yang kami tumpangi
terus melaju ke atas kadang-kadang berpapasan dengan mobil lain yang juga mau
lewat. Seakan mau tabrakan membuat jantung kami berdebar-debat.
Setelah
sampai atas kami istirahat dulu sejenak, kami semuanya turun dari mobil. Membuka
perbekalan yang aku bawa karena perjalanan yang panjang membuat kami lapar. Bapak yang mengemudi mobil menekuk-nekuk lututnya
lalu berselonjor di rumput yang sebelunnya sudah dialasi tikar plastik yang
kebetulan ada di bagasi mobil.
Udara
yang sejuk, pemandangan yang luas sepuas mata memandang, indah mempesona. Hamparan
sawah yang luas sejauh mata memandang. Di batasi dengan gunung yang menjulang,
semilir angin yang sejuk membelai kerudung yang menjuntai.
Sambil
makan lepet yang kemarin aku buat dan goreng tempe yang tadi subuh aku goreng. Kami
berkumpul memegang makanannya sendiri-sendiri sambil berkengkrama
bertanya-tanya pada Iman mengenai daerahnya dan ciri khas daerahnya. Iman yang
pada waktu itu sebagai calon pengantin menjadi petunjuk arah dan nara sumber
yang andal mengenai daerahnya.
Setelah
penat lewat dan pegal kembali segar, kami pun melanjutkan perjalanan yang kata
Iman baru seperempat perjalanan. Jalan yang berliku dan pemandangan yang indah menghibur kami menikmati perjalanan ini.
Bakda
dhuhur kami baru tiba di lokasi. Sejuk dan nyaman dengan udara yang segar. Di depan
rumah terhampar sawah membentang, suara air yang jatuh dari pancuran menjadi
musik yang menyejukkan. Ikan besar yang warna-warni menggelitik tangan ingin
memancing. Pohon mangga yang menjuntai melambai-lambai seakan meminta untuk dipetik.
Kami
langsung disambut oleh kakek nenek Intan yang sudah menunggu dari tadi. Selama diperjalanan
pun Intan beberapa kali menelpon menanyakan posisi. Aku menyerahkan bawaan sebagai
oleh-oleh alakadarnya pada pribumi.
“Ayo
masuk-masuk” pinta kakek Intan mempersilahkan kami masuk setibanya di depan
rumah.
“Terima
kasih Pak” jawabku sambil bersalaman dengan kakek dan nenek Intan.
Sesampainya
di ruang tamu, sudah digelar karpet dan tikar memenuhi seluruh ruang tamu. Di atasnya
sudah terhidang nasi merah lengkap dengan lauk pauknya. Ada juga nasi putih di wadah
yang lain Kue-kue tradional seperti kue ali, ranginang, kue lapis, bugis
terhidang berjajar di piring. Ada juga buah mangga yang menggoda apalagi
setelah penat berada lama dalam mobil, menarik untuk dicicipi.
“Ayo
Pak, Bu, anak-anak dicicipi kuenya.” Nenek Intan mempersilahkan supaya makanan yang
terhidang untuk di makan.
“Sekalian
makan dulu sudah dingin ini dari tadi terhidang, ayo Pak, Bu, anak-anak cape
diperjalanan sebelum salat makan dulu” nenek Intan dengan ramah mempersilahkan.
Tanpa
menunggu dipersilahkan lagi Aku menyiduk nasi pada piring yang sudah tersedia,
diberikan pada orang yang dekat sampai semuanya kebagian dan makan. Untuk sesaat
semua sibuk dengan makanannya masing-masing.
Yang sudah selesai sambil mencuci
tangan langsung melaksanakan salat asar digabung dengan salat duhur karena tadi
tidak menemukan masjid di pinggir jalan. Setelah
semuanya selesai salat, baru menuju ke rumah ayahnya Intan yang tidak terlalu
jauh dari rumah kakeknya. Kami berjalan kaki menuju rumah ayahnya Intan yang
masuk gang.
Rumah
yang sederhana dengan pelataran tanah yang bersih disebelah kanan ada sawah
yang masih hijau dengan tanaman padinya. Sebelah kiri ada pohon pisang dan
ketela pohon yang kurang subur karena sudah lama tidak turun hujan. Sedangkan di
depan terbentang jalan yang biasa dilalui warga yang mau bepergian dan hanya
bisa dilalui motor.
Di
buka oleh Pak Opi yang dari tadi satu mobil dengan istrinya dan aku. Acara lamaran
pun di mulai. Bapak yang mewakili keluarga Iman mengemukakan maksudnya untuk
melamar Intan untuk dinikahkan dengan Iman. Ayah intan tidak bisa menjawab
suaranya serak tidak keluar, badannya bergetar menahan tangis, air matanya tak
bisa dibendung lagi keluar meleleh membasahi pipinya. Air matanya dihapus
dengan tangannya setelah agak reda dengan terbata-bata ayah Intan menyerahkan
kepada kakeknya untuk menjawab lamaran bapak.
Dengan
menahan haru kakek Intan pun menerima lamaran bapak, lalu berunding dengan kesepakatan
semuanya direncanakan bulan Desember akan dilaksanakan akan nikah dan
resepsinya bertempat di Cibadak.
Aku
yang mewakili ibu Iman menyerahkan cincin yang dibawa Iman sebagai tanda ikatan
sudah lamaran. Aku membuka dan memakaikan cincin itu pada jari manis Intan yang
lembut dan putih diawali dengan baca bismillah. Disusul nenek Intan yang
memakaikan cincin pada jari manis Iman dilanjutkan dengan sesi foto-foto.
Setelah
selesai acara kami dengan rombongan kembali pulang dengan dibekali oleh-oleh
ciri khas Banten oleh kakek nenek Intan.
Mohon masukannya
BalasHapusMenurut saya poin utamanya terlalu cepat gitu aja, padahal prosesnya cukup memakan waktu.
BalasHapusAkhirnya dilamar
BalasHapusLumayan Nostalgic, jika seandainya kisah ini dibaca para audiens yang pernah merasakan lamaran.
BalasHapusAlhamdulillah 🥰🥰
BalasHapus