3.
JENAZAH
“Din
Tunggu di sini, Abah naik dulu ke atas.” Perintah Abah Husni pada Udin.
“Ya,
Bah...” Jawab Udin singkat, sambil mengelus-elus kepala Adul yang sudah siuman
penuh.
Abah
berlari naik ke atas melihat situasi yang terjadi. Ternyata sudah ada beberapa
warga yang datang ke tempat itu karena mendengar suara ledakan yang keras. Baru
terlihat di tengah sawah yang baru ditanami padi ternganga lekungan yang
lumayan besar akibat ledakan. Sementara
dipematang sawah warga berkerumun mengelilingi tubuh yang penuh lumpur dan
banyak luka. Terlihat lumpur yang bercampur darah berceceran.
Abah
Husni mendekati kerumunan orang-orang, sebagian memberi celah agar Abah Husni
bisa mendekati tubuh yang penuh lumpur. Abah tak berdaya orang yang sangat ia
cintai tidak berdaya berselimut lumpur campur darah. Walau air mata mengalir
deras dari kelopak matanya. Abah masih sadar lalu menempatkan kepala penuh
lumpur itu dipangkuannya. Lalu memeriksa nadi ditangan dan leher ibunya.
Setelah yakin ibunya sudah tiada, Abah memeluknya seakan tak ingin lepas.
“Innalillahi
wa innaillaihi rojiun, Bah sabar semua ini sudah kehendak Allah.” Bah Pardi
mengingatkan Abah Husni sampil mengusap-usap punggung Abah Husni. “Jodo, pati, bagja, cilaka, Allah anu tos
ngatur urang mah teu walakaya ngan saukur ngajalanken wungkul (jodoh, mati,
bahagia, celaka Allah yang sudah mengatur, kita manusia hanya menjalani apa
yang telah Allah Taqdirkan).” Bah Pardi melanjutkan.
Abah
Husni menghapus air matanya dengan tanganya. Suara parau dan sisa isak tangis
ditenggorokannya masih terdengar dari suaranya ketika meminta bantuan warga
yang ada. Abah Husni mengatur langkah yang apa yang harus dilakukan
selanjutnya.
“Saudara
sekalian saya mohon bantuan dari semuanya. Sebagian untuk membawa jenazah ibu
saya ke rumah saya. Dan sebagian lagi tolong bantu si Udin supaya membawa Emak
dan si Adul pulang ke rumah. Mereka ada di pinggir Sungai di bawah sana.” Kata
Abah sambil menunjukkan tempat Udin, Ema dan Adul berada.
Tanpa
diperintah lagi warga dengan sigap berbagi tugas ada yang membawa jenazah, ada
juga yang membantu Emak Itim dan Adul pulang ke rumahnya.
Sesampainya
di rumah, tanpa intruksi dari siapa pun. Seakan semuanya sudah tahu apa yang
harus dilakukan. Semua melakukan perannya masing-masing. Ada yang mengukur dan
menggali kubur. Ada yang menyiapkan kain kafan. Ada yang bertugas memandikan.
Ada yang mengangkut air untuk memandikan jenazah dari pancuran. Ada yang mencari bunga untuk taburan. Ada yang menyiapkan
air untuk menyiram. Ada yang bertugas memasak di dapur menyediakan makanan bagi
tamu yang datang dan yang terkena musibah. Sampai pada acara tahlilan yang
dilaksanakan setelah salat Isya.
Adul
dan Emak juga Udin tidak terlalu banyak bicara. Ketiganya masih syok mengalami
kejadian hari itu. Emak hanya duduk di tengah rumah yang penuh dengan pelayat.
Dengan mata bengkak karena tak kuasa menahan air mata. Adul tertidur di kamar
Abah Husni ditemani Ipah kakaknya yang paling besar. Isaknya masih sesekali
terdengar walaupun dalam keadaan tidur. Sedangkan Udin duduk melamun memegang
lututnya di dekat pintu dapur. Terlihat kesedihan yang mendalam bercampur
dengan rasa bersalah. Sesekali memperhatikan tetangganya yang sedang membantu memasak,
tetapi pikirannya kosong molongpong. (Termangu dengan pikiran kosong)
Apakah
Adul menjadi saksi hidup dalam peristiwa penyerangan di Bojong Kokosan?
Kapan
terjadinya?
Dan
berapa korban yang gugur pada pertempuran itu?
Penasaran?
ikuti kelanjutannya dalam episode berikutnya.
Bersambung ...
ooooOOOoooo
Mohon masukakannya
BalasHapusLanjut, seru
BalasHapus😲😲
BalasHapusLanjuuuuut
Dilanjutkan😆
BalasHapusAsyiaaappp
BalasHapusNext
BalasHapusLanjutkan mbak
BalasHapus👍👍
BalasHapus