Selasa, 15 Oktober 2019

PERISTIWA BOJONG KOKOSAN 3




3.      JENAZAH

“Din Tunggu di sini, Abah naik dulu ke atas.” Perintah Abah Husni pada Udin.
“Ya, Bah...” Jawab Udin singkat, sambil mengelus-elus kepala Adul yang sudah siuman penuh.

Abah berlari naik ke atas melihat situasi yang terjadi. Ternyata sudah ada beberapa warga yang datang ke tempat itu karena mendengar suara ledakan yang keras. Baru terlihat di tengah sawah yang baru ditanami padi ternganga lekungan yang lumayan besar akibat ledakan.  Sementara dipematang sawah warga berkerumun mengelilingi tubuh yang penuh lumpur dan banyak luka. Terlihat lumpur yang bercampur darah berceceran.

Abah Husni mendekati kerumunan orang-orang, sebagian memberi celah agar Abah Husni bisa mendekati tubuh yang penuh lumpur. Abah tak berdaya orang yang sangat ia cintai tidak berdaya berselimut lumpur campur darah. Walau air mata mengalir deras dari kelopak matanya. Abah masih sadar lalu menempatkan kepala penuh lumpur itu dipangkuannya. Lalu memeriksa nadi ditangan dan leher ibunya. Setelah yakin ibunya sudah tiada, Abah memeluknya seakan tak ingin lepas.

“Innalillahi wa innaillaihi rojiun, Bah sabar semua ini sudah kehendak Allah.” Bah Pardi mengingatkan Abah Husni sampil mengusap-usap punggung Abah Husni. “Jodo, pati, bagja, cilaka, Allah anu tos ngatur urang mah teu walakaya ngan saukur ngajalanken wungkul (jodoh, mati, bahagia, celaka Allah yang sudah mengatur, kita manusia hanya menjalani apa yang telah Allah Taqdirkan).” Bah Pardi melanjutkan.

Abah Husni menghapus air matanya dengan tanganya. Suara parau dan sisa isak tangis ditenggorokannya masih terdengar dari suaranya ketika meminta bantuan warga yang ada. Abah Husni mengatur langkah yang apa yang harus dilakukan selanjutnya.

“Saudara sekalian saya mohon bantuan dari semuanya. Sebagian untuk membawa jenazah ibu saya ke rumah saya. Dan sebagian lagi tolong bantu si Udin supaya membawa Emak dan si Adul pulang ke rumah. Mereka ada di pinggir Sungai di bawah sana.” Kata Abah sambil menunjukkan tempat Udin, Ema dan Adul berada.

Tanpa diperintah lagi warga dengan sigap berbagi tugas ada yang membawa jenazah, ada juga yang membantu Emak Itim dan Adul pulang ke rumahnya.

Sesampainya di rumah, tanpa intruksi dari siapa pun. Seakan semuanya sudah tahu apa yang harus dilakukan. Semua melakukan perannya masing-masing. Ada yang mengukur dan menggali kubur. Ada yang menyiapkan kain kafan. Ada yang bertugas memandikan. Ada yang mengangkut air untuk memandikan jenazah dari pancuran. Ada yang mencari bunga untuk taburan. Ada yang menyiapkan air untuk menyiram. Ada yang bertugas memasak di dapur menyediakan makanan bagi tamu yang datang dan yang terkena musibah. Sampai pada acara tahlilan yang dilaksanakan setelah salat Isya.

Adul dan Emak juga Udin tidak terlalu banyak bicara. Ketiganya masih syok mengalami kejadian hari itu. Emak hanya duduk di tengah rumah yang penuh dengan pelayat. Dengan mata bengkak karena tak kuasa menahan air mata. Adul tertidur di kamar Abah Husni ditemani Ipah kakaknya yang paling besar. Isaknya masih sesekali terdengar walaupun dalam keadaan tidur. Sedangkan Udin duduk melamun memegang lututnya di dekat pintu dapur. Terlihat kesedihan yang mendalam bercampur dengan rasa bersalah. Sesekali memperhatikan tetangganya yang sedang membantu memasak, tetapi pikirannya kosong molongpong. (Termangu dengan pikiran kosong)

Apakah Adul menjadi saksi hidup dalam peristiwa penyerangan di Bojong Kokosan?
Kapan terjadinya?
Dan berapa korban yang gugur pada pertempuran itu?
Penasaran? ikuti kelanjutannya dalam episode berikutnya.



Bersambung ...

ooooOOOoooo

8 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...