Kamis, 17 Oktober 2019

PERISTIWA DI BOJONG KOKOSAN 4



4. Di Bawah Ancaman Laras Panjang
Kematian ibunya yang sangat disayangi tidaklah menyurutkan semangatnya untuk berjuang. Justru malah sebaliknya menyulut semangatnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan.

Seperti halnya pagi itu Abah Husni dan Udin setelah salat subuh sudah berangkat mau ke Ongkrak daerah dekat Pamuruyan Cibadak. Ketika hari masih gelap mereka berjalan melalui jalan biasa karena masih jarang orang yang berlalu lalang. Dan yang paling penting penjagaan dari para penjaga Belanda yang berpatroli masih belum banyak.

Abah Husni dan Udin bila harus melalui jalan yang dijaga oleh petugas perkebunan. Mereka mengelabui penjaga itu dengan mencap tangannya dengan buah atau pohon yang bergetah coklat. Penjaga itu bisa dikelabui karena orang pribumi yang direkrut oleh Belanda bertugas menjaga perkebunan rata-rata buta huruf. Mereka tidak bisa membedakan mana yang asli mana yang palsu.

Suatu ketika sepulang dari musyawarah yang diadakan di Parungkuda. Abah Husni menempuh jalan rel kereta api karena hari sudah sore. Kain sarung yang selalu dibawanya kemanapun pergi untuk memudahkannya salat dililitkan dipinggangnya. Peci hitam yang dipakainya dengan keadaan menyilang dan ditekan lebih dalam. Sehingga penampilannya jauh berbeda pada saat keluar dari forum rapat tadi.

“Bah, Bah ada tentara.” Kata Udin yang pertama kali melihat ada tentara di depan mereka.
“Mana?” Tanya Abah sambil menengk kekanan dan kiri.
“Itu!” Tunjuk Udin mengangkat tangannya mengarah ke kanan depan. 
“Kamu turun ke selokan bersihkan sampah-sampah yang menghalangi air mengalir.” perintah Abah sambil meninggalkan Udin yang kebingungan. Mengapa kakaknya menyuruh membersihkan selokan bukannya lari atau bersembunyi. Walaupun merasa bingung Udin melaksanakan perintah kakaknya. Lalu ia turun ke selokan dan mengerjakan apa yang diperintahkan.

Sementara itu Abah Husni malah turun ke sawah. Buku catatan hasil rapatnya tadi yang dibungkus plastik dikeluarkan dari sakunya. Lalu dimasukan ke dalam lumpur sawah dan diinjak oleh kaki kanannya. Celana pangsinya yang masih bersih dikotori dengan lumpur sawah. Tangannya membersihkan lumput liar yang tumbuh disela-sela tanaman padi. Matanya sesekali mengintip pada tentara yang berjalan beriringan yang semakin mendekatinya.

“Hai kamu sedang apa?” Tanya pemimpin tentara sambil menodongkan laras panjangnya.

“Aa...ampun Tuan, Sa...saya petani sedang membersihkan padi dari gulma.” Jawab Abah Husni sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang gulma yang dibersihkannya.

“Benar kamu petani bukan pejuang?” Tanya kepala tentara masih menodongkan laras panjangnya.

“Benar Tuan...Saya hanya petani biasa, Saya tidak tahu apa-apa mengenai perjuangan. Saya hanya memikirkan makan anak-anak saja.” Abah Husni berusaha menyakinkan kepala tentara itu.

“Mengapa sudah sore begini kamu belum pulang?” Tanya kepala tentara itu masih mengintrogasi Abah Husni.

“Rumah saya dekat di bawah situ, biasanya sebelum magrib saya sudah sampai di rumah.” Jawab Abah sambil menunjuk pada jembatan yang akan dilaluinya.

“Geledah badannya!” Perintah kepala tentara pada anak buahnya. Seorang tentara maju ke depan mendekati Abah Husni.  Lalu membuka kain sarung yang tadi diikat dipinggangnya. Kain sarung itu di buka dan hanya ada baju bekas tadi rapat didalamnya.

“Mengapa kamu ke sawah tapi bawa baju bersih.” Tanya kepala tentara sambil kembali mengarahkan laras panjangnya ke tubuh Abah.

“Oh itu tadi pagi Saya ke sawah bawa pacul dan golok. Waktu sebelum duhur Saya pulang menyimpan semuanya karena ada tetangga Saya yang meninggal. Setelah melayat Saya langsung ke sini karena tadi pagi sawah ini kering tak berair.” Abah Husni mengarang cerita yang supaya dapat diterima kepala tentara.

“Sama siapa kamu di sini.” Tanyanya lagi masih menodongkan laras panjangnya.

“Awalnya Saya sendiri, tapi tadi adik Saya lewat Saya mintanya membantu supaya cepat selesai.” Jawab Abah Husni.

“Dimana sekarang adikmu?” Tanya kepala tentara lagi.

“Disana Tuan sedang membersihkan aliran selokan supaya airnya lancar.” Jawab Abah sambil menunjuk ke arah Udin.

Udin yang dari tadi berada di selokan mengintip dengan juru matanya. Jantungnya berdetak cepat seakan sudah berlari berkilo-kilo meter. Lututnya bergetar lemas menyangga beban tubuhnya. Udin khawatir takut terjadi apa-apa pada kakaknya.  Melihat laras panjang masih ditujukan pada badan kakaknya. Tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil mengintip kakaknya tangannya tak berhenti mengumpulkan sampah dari selokan ditumpuk menyerupai gunung-gunung kecil dipinggir selokan.

“Din, Udin....” Abah memanggil Udin. Udin bukannya muncul dan mendekat. Udin ketakutan setengah mati badannya semakin bungkuk ke dalam sehingga tidak kelihatan dari jauh. Baju depannya basah kena air selokan sedangkan bagian punggungnya basah oleh keringat karena takut. Udin pura-pura tidak mendengar tangannya terus saja mengambil sampah yang ada di selokan.

“Angkat tangan!” Tiba-tiba kepala tentara itu sudah ada didekatnya sambil mengarahkan laras panjangnya.

Bagaimana kisah ini? ikuti terus kelanjutannya...

ooooooOOOooooo

6 komentar:

”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?”

  ”MASKER DARI KAIN PERCA, EMANG BISA?” (Part 2 tamat) Seminggu telah berlalu. Peserta didik kelas delapan kini kembali bertemu. Mereka memb...