4. Di Bawah
Ancaman Laras Panjang
Kematian
ibunya yang sangat disayangi tidaklah menyurutkan semangatnya untuk berjuang. Justru
malah sebaliknya menyulut semangatnya untuk terus memperjuangkan kemerdekaan.
Seperti
halnya pagi itu Abah Husni dan Udin setelah salat subuh sudah berangkat mau ke
Ongkrak daerah dekat Pamuruyan Cibadak. Ketika hari masih gelap mereka berjalan
melalui jalan biasa karena masih jarang orang yang berlalu lalang. Dan yang
paling penting penjagaan dari para penjaga Belanda yang berpatroli masih belum
banyak.
Abah
Husni dan Udin bila harus melalui jalan yang dijaga oleh petugas perkebunan.
Mereka mengelabui penjaga itu dengan mencap tangannya dengan buah atau pohon
yang bergetah coklat. Penjaga itu bisa dikelabui karena orang pribumi yang
direkrut oleh Belanda bertugas menjaga perkebunan rata-rata buta huruf. Mereka
tidak bisa membedakan mana yang asli mana yang palsu.
Suatu
ketika sepulang dari musyawarah yang diadakan di Parungkuda. Abah Husni
menempuh jalan rel kereta api karena hari sudah sore. Kain sarung yang selalu
dibawanya kemanapun pergi untuk memudahkannya salat dililitkan dipinggangnya.
Peci hitam yang dipakainya dengan keadaan menyilang dan ditekan lebih dalam.
Sehingga penampilannya jauh berbeda pada saat keluar dari forum rapat tadi.
“Bah,
Bah ada tentara.” Kata Udin yang pertama kali melihat ada tentara di depan
mereka.
“Mana?”
Tanya Abah sambil menengk kekanan dan kiri.
“Itu!”
Tunjuk Udin mengangkat tangannya mengarah ke kanan depan.
“Kamu
turun ke selokan bersihkan sampah-sampah yang menghalangi air mengalir.”
perintah Abah sambil meninggalkan Udin yang kebingungan. Mengapa kakaknya
menyuruh membersihkan selokan bukannya lari atau bersembunyi. Walaupun merasa
bingung Udin melaksanakan perintah kakaknya. Lalu ia turun ke selokan dan
mengerjakan apa yang diperintahkan.
Sementara
itu Abah Husni malah turun ke sawah. Buku catatan hasil rapatnya tadi yang
dibungkus plastik dikeluarkan dari sakunya. Lalu dimasukan ke dalam lumpur
sawah dan diinjak oleh kaki kanannya. Celana pangsinya yang masih bersih
dikotori dengan lumpur sawah. Tangannya membersihkan lumput liar yang tumbuh
disela-sela tanaman padi. Matanya sesekali mengintip pada tentara yang berjalan
beriringan yang semakin mendekatinya.
“Hai
kamu sedang apa?” Tanya pemimpin tentara sambil menodongkan laras panjangnya.
“Aa...ampun
Tuan, Sa...saya petani sedang membersihkan padi dari gulma.” Jawab Abah Husni
sambil mengangkat tangannya yang sedang memegang gulma yang dibersihkannya.
“Benar
kamu petani bukan pejuang?” Tanya kepala tentara masih menodongkan laras
panjangnya.
“Benar
Tuan...Saya hanya petani biasa, Saya tidak tahu apa-apa mengenai perjuangan. Saya
hanya memikirkan makan anak-anak saja.” Abah Husni berusaha menyakinkan kepala
tentara itu.
“Mengapa
sudah sore begini kamu belum pulang?” Tanya kepala tentara itu masih
mengintrogasi Abah Husni.
“Rumah
saya dekat di bawah situ, biasanya sebelum magrib saya sudah sampai di rumah.”
Jawab Abah sambil menunjuk pada jembatan yang akan dilaluinya.
“Geledah
badannya!” Perintah kepala tentara pada anak buahnya. Seorang tentara maju ke
depan mendekati Abah Husni. Lalu membuka
kain sarung yang tadi diikat dipinggangnya. Kain sarung itu di buka dan hanya ada
baju bekas tadi rapat didalamnya.
“Mengapa
kamu ke sawah tapi bawa baju bersih.” Tanya kepala tentara sambil kembali
mengarahkan laras panjangnya ke tubuh Abah.
“Oh
itu tadi pagi Saya ke sawah bawa pacul dan golok. Waktu sebelum duhur Saya pulang
menyimpan semuanya karena ada tetangga Saya yang meninggal. Setelah melayat
Saya langsung ke sini karena tadi pagi sawah ini kering tak berair.” Abah Husni
mengarang cerita yang supaya dapat diterima kepala tentara.
“Sama
siapa kamu di sini.” Tanyanya lagi masih menodongkan laras panjangnya.
“Awalnya
Saya sendiri, tapi tadi adik Saya lewat Saya mintanya membantu supaya cepat
selesai.” Jawab Abah Husni.
“Dimana
sekarang adikmu?” Tanya kepala tentara lagi.
“Disana
Tuan sedang membersihkan aliran selokan supaya airnya lancar.” Jawab Abah
sambil menunjuk ke arah Udin.
Udin
yang dari tadi berada di selokan mengintip dengan juru matanya. Jantungnya
berdetak cepat seakan sudah berlari berkilo-kilo meter. Lututnya bergetar lemas
menyangga beban tubuhnya. Udin khawatir takut terjadi apa-apa pada kakaknya. Melihat laras panjang masih ditujukan pada
badan kakaknya. Tapi dia sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Sambil mengintip
kakaknya tangannya tak berhenti mengumpulkan sampah dari selokan ditumpuk
menyerupai gunung-gunung kecil dipinggir selokan.
“Din,
Udin....” Abah memanggil Udin. Udin bukannya muncul dan mendekat. Udin ketakutan
setengah mati badannya semakin bungkuk ke dalam sehingga tidak kelihatan dari
jauh. Baju depannya basah kena air selokan sedangkan bagian punggungnya basah
oleh keringat karena takut. Udin pura-pura tidak mendengar tangannya terus saja
mengambil sampah yang ada di selokan.
“Angkat
tangan!” Tiba-tiba kepala tentara itu sudah ada didekatnya sambil mengarahkan
laras panjangnya.
Bagaimana
kisah ini? ikuti terus kelanjutannya...
ooooooOOOooooo
Sudah lama tidak baca cerita pendek kolosal. Seru mbak
BalasHapusKeren kak^^
BalasHapusWah, tambah seru๐
BalasHapusSemangat terima kasih kunjungannya
BalasHapusWih ๐
BalasHapusAku ikut deg-degan bacanya. Semoga Udin bisa jaga sikap agar tidak ketahuan
BalasHapus