“Assalamualaikum,
“ Ucap Hera ketika memasuki rumah dokter Zaisal. “Eh tidak dinas Dok? tanyanya
sambil mendekati dokter Zaisal yang duduk di ruang tamu. Lalu mencium punggung
tangan dokter itu dengan takjim.
“Waalaikum
salam, ada jadwal operasi nanti jam empat baru berangkat. Dari mana dulu kok
siang.” Dokter Zaisal balik bertanya.
“Rapat
IGTK cara pengisian rapot yang baru, sebentar lagi pembagian rapot dan izasah
untuk anak yang mau ke SD.” Jawab Hera masih di depan dokter Zaisal.
“Sudah
makan?” Tanyanya lagi sambil menatap Hera yang masih berdiri dihadapannya.
“Belum
Dok, tadi waktunya mepet jadi Cuma salat doang.” Jawab Hera nyengir
memperlihatkan gigi putihnya merasa bersalah.
“Kalau
begitu makan dulu, nanti sesudah makan kesini lagi ada hal yang ingin
dibicarakan.” Perintah dokter Zaisal masih sambil memegang koran yang
dibacanya.
“Baik
Dok,” Jawab Hera sambil berlalu meninggalkan dokter Zaisal dengan korannya.
Tak
berapa lama Hera kembali mendekati dokter Zaisal di ruang tamu masih dengan
korannya. Hera membawa segelas jus jeruk yang dibuatnya dan menyimpannya di
meja di hadapan dokterZaisal.
“Dok
jus jeruk” Tawarnya pada dokter Zaisal.
“Eh
iya terima kasih” lalu meminumnya perlahan hingga habis setengah, lalu
menyimpannya kembali di atas meja.
“Ada
apa Dok?” tanya Hera penasaran ingin segera tahu apa yang akan dibicarakan.
Dokter
Zaisal tak langsung menjawab. Menarik napas panjang lalu mengeluarkannya lagi
perlahan sebelum memulai menjawab.
“Begini,
pertama, kamu itu sudah menjadi anakku, tak elok kedengarannya jika kau masih
memanggilku dokter. Walau aku tahu panggilan dokter adalah panggilan
kesayanganmu sedari kecil. Yang paling penting aku ingin dipanggil Ayah oleh
anakku. Sehingga aku merasa menjadi seorang ayah.” Pintanya sambil menatap Hera
penuh harap.
“Eh
i..iya Dok...eh Ayah” Jawab Hera terbata masih kaku untuk memanggil dokter
Zaisal ayah.
“He
he he terima kasih, adeem rasanya hatiku, dipanggil ayah, berasa punya anak.”
Kekeh tawanya terdengar renyah serta wajah cerah terlihat menggambarkan rasa
senang dihatinya.
“Kedua,
Hera kan tahu Varis lelaki yang kamu tolong itu. Setelah koma beberapa hari dan
sekarang berangsur pulih. Namun untuk perawatan kakinya sampai bisa berjalan
memerlukan waktu agak lama. Kamu juga kan tahu Varis tidak mau didekati oleh
siapapun baik dokter maupun perawat. Kecuali Valerina ibunya, aku dan Bundamu.”
Dokter Zaisal menjeda ucapannya.
“Aku
belum tahu mengapa Varis tidak mau dirawat oleh dokter lain atau oleh perawat.
Sejak siuman dari komanya dia terus marah-marah tak jelas. Terkadang berdiam
diri terus menerus tak menanggapi orang-orang yang berinteraksi
disekitarnya. Sepertinya dia terlalu
shok ditinggalkan oleh tunangannya.” Dokter Zaisal menjeda lagi ucapannya,
tatapannya terus memperhatikan gerakan yang dilakukan Hera mempelajari reaksi
yang ditimbulkan karena ucapannya.
Hera
masih diam menunduk tak berani menatap langsung wajah dokter Zaisal yang sedang
berbicara. Tangannya saling tertaut menahan rasa gugup, mendengarkan cerita
orang yang pernah ditolongnya.
“Waktu
kamu menyuapinya makan, Ibu Valerina melihat dan memperhatikan reaksi dari
Varis. Dia terkejut sekaligus juga senang karena Varis tidak mengusir kamu tapi
malah menurut apa yang kamu perintahkan. Kemarin Ibu Valerina berbicara dan
bertanya tentang kamu. Dan Ibu Valerina meminta kesempatan untuk berbicara
langsung pada kamu. Beliau ingin bertanggung jawab dan memberikan konvensasi
atas kerugian dari kecelakaan helikopter itu. Dan berterima kasih atas
pertolongan yang kau berikan. Beliau juga ikut berduka cita atas meninggalnya
nenekmu. Juga meminta maaf karena baru tahu apa yang terjadi pada keluargamu.” Lanjut
dokter Zaisal.
“Aku
tidak akan mempengaruhi pendapat mu, kalau kamu bersedia bertemu dengan ibu
Varis aku izinkan. Kalau pun kamu tidak bersedia juga akan aku kabarkan pada
Ibu Valerina. Kalau kamu bersedia bertemu berarti kamu harus siap mengingat kembali
kejadian itu.” Dokter Zaisal menjelaskan panjang lebar.
“In
Sya Allah Yah, aku siap bertemu dengan ibu Valerina. Mungkin bisa di ruangan
ayah saja ngobrolnya. Agar Ibu Valerina juga tidak terlalu jauh meninggalkan
Pak Varis sendiri. Besok sepulang dari sekolah Aku ke Rumah Sakit. Ayah bisa
mengabari Ibu Valerina.” Jawab Hera memberikan kepastian pertemuannya.
“Terima
kasih Nak, kamu memang anak penurut.” Gemasnya sambil mengusap puncak kepala
Hera.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar